Tag Archive | pemimpin

Pemimpin (3/3)

(halaman sebelumnya)

Hari pertama pun berlalu, dan hari-hari berikutnya mereka jalani dengan kesuksesan yang sama. Tidak ada hal penting yang terjadi, hanya kejadian sepele: mereka jatuh dengan kepala tersungkur ke dalam selokan, lalu ke dalam ngarai; mereka menembus pagar tanaman dan semak blackberry; mereka menginjak duri; beberapa lengan dan kaki patah; beberapa diantara mereka menderita luka di kepala. Tapi semua derita ini harus mereka tahan. Beberapa orang tua terbaring mati di jalanan.

“Mereka tetap akan mati bahkan jika mereka tetap tinggal di rumah, apalagi di jalanan!” kata juru bicara itu, dan menyemangati yang lain untuk melanjutkan. Beberapa anak yang lebih kecil, yang berumur satu hingga dua tahun puntewas. Para orang tua menekan sakit hati mereka karena itu adalah kehendak Tuhan.

“Dan semakin kecil anak-anak itu, semakin sedikit pula kesedihannya. Ketika mereka lebih muda, kesedihannya lebih sedikit. Tuhan menganugerahkan kepada orang tua untuk tidak pernah kehilangan anak mereka ketika telah mencapai usiapernikahan. Jika anak-anak memang ditakdirkan seperti itu, lebih baik mereka mati lebih awal. Jadi kesedihannya tidak begitu besar!” juru bicara itu menghibur mereka lagi. Beberapa orang membungkus kepala mereka dengan kain dan menempelkan kompres dingin pada memar mereka.

Yang lainnya membawa lengan mereka di dalam gendongan. Semuanya compang-camping dan terluka. Pakaian mereka tercabik-cabik, namun mereka memaksa maju dengan gembira. Semua penderitaan ini akan lebih mudah ditanggung jika mereka tidak disiksa dengan rasa lapar yang datang berkali-kali. Tapi mereka harus terus maju.

Pada suatu hari, sesuatu yang lebih berarti terjadi.

Sang pemimpinberjalan di depan, dikelilingi oleh pria-pria paling berani dalam kelompok itu. (Dua dari mereka hilang, dan tidak ada seorang pun yang tahu keberadaan mereka. Menurut banyak orang mereka telah mengkhianati perjuangan mereka dan melarikan diri. Pada suatu kesempatan sang juru bicara mengatakan sesuatu tentang pengkhianatan mereka yang memalukan. Hanya sedikit yang percaya bahwa keduanya meninggal di jalan, tetapi mereka tidak menyuarakan pendapat mereka agar tidak memunculkan perdebatan.)

Orang-orang lainnya berada di belakang mereka. Tiba-tiba muncul sebuah ngarai berbatu yang sangat besar dan luas–sebuah jurang yang sangat dalam. Lerengnya sangat curam sehingga mereka tidak berani melangkah maju. Bahkan pria-priayang paling berani pun berhenti sejenak dan menatap sang pemimpin.

Sambil mengerutkan dahi dan tenggelam dalam pikirannya dengan kepala menunduk, dia melangkah majudengan berani, mengetukkan tongkatnya di depan, pertama ke kanan, lalu ke kiri, dengan caranya yang khas. Banyak yang mengatakan bahwa itu semua membuatnya terlihat lebih bermartabat. Dia tidak memandang siapa pun atau mengatakan apa pun. Di wajahnya tidak ada perubahan ekspresi atau jejak ketakutan saat dia semakin mendekati jurang. Bahkan pria-pria yang paling berani pun menjadi pucat seperti mayat, tetapi tidak ada yang berani untuk memperingatkan sang pemimpin yang gagah berani dan bijaksana itu.

Dua langkah lagi dan dia sudah berada di tepi jurang. Dalam ketakutan yang tidak wajar dan dengan mata yang terbuka lebar, mereka semua gemetar. Pria-pria paling berani hampir menahan sang pemimpin itu, bahkan jika hal itu berarti pelanggaran disiplin, ketika dia melangkah sekali, dua kali, dan terjun ke jurang. Muncullah kebingungan, ratapan, dan jeritan; ketakutan menguasai mereka. Beberapa diantara mereka bahkan mulai melarikan diri.

– Tunggu, saudara-saudara! Mengapa terburu-buru? Apakah ini carakalian menepati janji? Kita harus mengikuti orang bijak ini karena dia tahu apa yang dia lakukan. Dia sudah gila jika menghancurkan dirinya sendiri. Maju, kejar dia! Ini adalah bahaya terbesar dan mungkin bahaya terakhir, rintangan terakhir. Siapa tahu? Mungkin di sisi lain jurang ini kita akan menemukan tanah yang subur dan menakjubkan yang Tuhan siapkan untuk kita. Lanjutkan! Tanpa pengorbanan, kita tidak akan pernah maju! – itulah nasihat dari sang juru bicara, dia juga mengambil dua langkah ke depan, dan menghilang ke dalam jurang. Pria-priayang paling berani mengikutinya, kemudian yang lainnya juga ikut terjun.

Ada ratapan, rintihan, erangan, dan raungan di lereng curam jurang yang luas ini. Tidak akan ada seorangpun yang bisa keluar hidup-hidup dari sini, apalagi tidak terluka dan masih dalam keadaan utuh, tetapi manusia adalah makhluk yang gigih. Sang pemimpinsangat beruntung. Dia tergantung di semak-semak saat dia jatuh dan tidak terluka. Dia berhasil merangkak dan memanjat keluar. Sedangkan ratapan, erangan dan tangisan bergema di bagian bawah, dia duduk tak bergerak, diam termenung. Beberapa orang yang babak belur dan marah mulai mengutuknya tetapi dia tidak mempedulikannya.

Mereka yang untungnya bisa memegang semak atau pohon saat jatuh mulai berusaha keras untuk memanjat keluar. Beberapa dengan kepala yang retak sehingga darah mengucur dari wajah mereka. Tidak ada seorang pun yang utuh kecuali sang pemimpin. Mereka semua tiba-tiba mengerutkan kening padanya dan mengerang kesakitan tetapi dia bahkan tidak mengangkat kepalanya. Dia diam dan melakukan pose reflektif layaknyaseorang bijak sejati!

Waktu pun berlalu. Jumlah pengelana menjadi semakin kecil dan semakin kecil. Setiap hari pasti ada korban. Beberapa diantaranya meninggalkan kelompokitu dan berbalik arah.

Dari jumlah yang banyak di awal, hanya tersisa sekitar dua puluh orang. Wajah mereka yang lesu dan lelah mencerminkan tanda-tanda keputusasaan, keraguan, kelelahan dan kelaparan, tetapi tidak ada yang mengatakan sepatah kata pun. Mereka diam seperti pemimpin mereka dan terus berjalan dengan susah payah. Bahkan sang juru bicara yang bersemangat itu menggelengkan kepalanya dengan putus asa. Jalan ini memang sulit.

Jumlah mereka berkurang setiap harinya hingga tersisa sepuluh orang. Dengan wajah yang sedih, mereka hanya mengerang dan mengeluh dan tidak berbicara.

Mereka lebih terlihat seperti orang lumpuh daripada manusia normal. Beberapa diantaranya menggunakan penopang tubuh. Beberapa orang menahan lengan mereka di dalam gendongan yang diikat di leher mereka. Di tangan mereka ada banyak perban dan kompres. Bahkan jika mereka ingin melakukan pengorbanan lainnya, mereka tidak bisa, karena hampir tidak ada ruang lagi di tubuh mereka untuk luka yang baru.

Bahkan, dia yang terkuat dan paling berani di antara mereka sudah kehilangan keyakinan dan harapan tetapi mereka masih berjuang lebih jauh; artinya, entah bagaimana, mereka tertatih-tatih seiring dengan kerasnya upaya, keluhan, dan tersiksa oleh rasa sakit. Apa lagi yang bisa mereka lakukan jika mereka tidak bisa kembali? Sudah begitu banyak pengorbanan yang mereka lakukan, apakah sekarang mereka harus meninggalkan perjalanan ini?

Senja pun turun. Dengan tertatih-tatih pada penopang tubuhnya, mereka tiba-tiba melihat bahwa sang pemimpin tidak lagi berada di depan mereka. Satu langkah kemudian mereka semua terjun ke jurang yang lain.

– Oh, kakiku! Oh, tanganku! – gemaratapan dan erangan. Sebuah suara yang lemah bahkan mengutuk sang pemimpin yang dihormatiitu namun kemudian menjadi senyap.

Ketika matahari terbit, sang pemimpinterduduk di sana, sama seperti pada hari ketika dia terpilih. Tidak ada sedikitpun perubahan dalam penampilannya.

Juru bicara itu keluar dari jurang, diikuti oleh dua orang lainnya. Cacat dan berdarah, mereka membalikkan badan untuk melihat ada berapa orang yang tersisa, namunhanya merekalah yang berada di sana. Ketakutan dan keputusasaan memenuhi hati mereka. Wilayah itu tidak mereka kenal, berbukit, berbatu – tidak ada jalan setapak di mana pun. Dua hari sebelumnya mereka menemukan sebuah jalan tetapi meninggalkannya. Sang pemimpin mengarahkan mereka seperti itu.

Mereka memikirkan teman-teman dan kerabat yang meninggal dalam perjalanan yang luar biasa ini. Kesedihan yang lebih kuat dari rasa sakit di anggota tubuh yang lumpuh menguasai mereka. Mereka telah menyaksikan kehancuran mereka dengan mata kepala mereka sendiri.

Juru bicara itu mendekati sang pemimpin dan mulai berbicara dengan suara lelah dan gemetar yang penuh dengan rasa sakit, keputusasaan dan kepahitan.

– Kita akanpergi ke mana sekarang?

Pemimpin itu diam.

– Kemana Andaakan membawa kami dan kami ada di mana sekarang? Kami menempatkan diri kami dan keluarga kami di tangan Anda dan kami mengikuti Anda, meninggalkan rumah kami dan kuburan leluhur kami dengan harapan bahwa kami dapat menyelamatkan diri dari kehancuran di tanah yang tandus itu. Tapi Anda telah menghancurkan kami dengan cara yang lebih buruk. Awalnya ada dua ratus keluarga di belakang Anda tapi sekarang, coba lihat ada berapa banyak yang tersisa!

– Maksudmu semua orang tidak ada di sini? – gumam sang pemimpin tanpa mengangkat kepalanya.

– Bisa-bisanya Anda menanyakan pertanyaan seperti itu? Angkat kepala Anda dan lihatlah! Hitung berapa banyak yang tersisa dalam perjalanan yang sial ini! Lihatlah bentuk kami sekarang! Lebih baik mati daripada menjadi lumpuh seperti ini.

– Aku tidak bisa melihatmu!

– Kenapa tidak?

– Aku buta.

Suasana tiba-tiba hening.

– Apakah Anda kehilangan penglihatan Anda selama perjalanan?

– Aku terlahir buta!

Ketiganya menundukkan kepala dalamkeputusasaan.

Angin musim gugur bertiup jahat melalui pegunungan dan merobohkan daun-daun yang layu. Kabut melayang di atas perbukitan, dan melalui kedinginan itu, udara yanglembab mengepakkan sayap-sayap gagak. Gaok gagak pertanda buruk bergema. Matahari tersembunyi di balik awan yang menggulung dan bergegas pergi menjauh.

Ketiga orang itu saling memandang dalamkengerian.

– Kita harus pergi kemana sekarang? – gumamsalah satu dari mereka dengan serius.

– Kami tidak tahu!

 

Di Beograd, 1901.
Untuk Proyek “Radoje Domanović” diterjemahkan oleh Verdia Juliansyah Cancerika, 2020.

Pemimpin (2/3)

(halaman berikutnya)

Keesokan harinya semua orang yang memiliki keberanian untuk melakukan perjalanan jauhberkumpul. Ada lebih dari dua ratus keluarga yang datang ke tempat yang sudah ditentukan. Hanya sedikit dari mereka yang tetap tinggal untuk menjaga rumah lama mereka.

Sungguh menyedihkan melihat kumpulan orang-orang yang menyedihkan dengan kemalangan yang pahit ini terpaksa meninggalkan tanah dimana mereka dilahirkan, yang di dalamnya terdapat kuburan dari nenek moyang mereka. Wajah mereka kuyu, lusuh dan terbakar sinar matahari. Penderitaan selama bertahun-tahun yang melelahkan ini menunjukkan efeknya kepada tubuh mereka dan menyajikan gambaran tentang penderitaan dan keputusasaan yang pahit. Tetapi pada saat itu, terlihat pula secercah harapan pertama –yang bercampur dengan kerinduan akan kepastian.

Air mata mengalir di wajah-wajah keriput dari banyak orang tua yang putus asa dan menggelengkan kepalanya dengan firasat yang buruk. Mereka lebih suka untuk tinggal selama beberapa waktu agar bisa mati di antara bebatuan ini ketimbang mencari tanah air yang lebih baik. Ada banyak wanita yang meratap dengan lantang dan mengucapkan selamat tinggal kepada kuburan dari orang yang mereka cintai dan akan mereka tinggalkan.

Pria itu memberanikan diri untuk maju dan berteriak, – Apakah kalian ingin terus kelaparan di negeri yang terkutuk ini dan tinggal di gubuk-gubuk ini? – Sebenarnya mereka semuamenginginkan yang terbaik dan membawa seluruh wilayah yang terkutuk ini bersama mereka jika mereka bisa.

Ada keributan dan teriakan yang biasa terjadi pada setiap kumpulan massa. Pria maupun wanita gelisah. Anak-anak menjerit di buaian punggung ibu mereka. Bahkan hewan ternak pun sedikit gelisah. Tidak ada banyak ternak di sana, seekor anak sapi di sana-sini dan punggungnya yang kurus dan berbulu lebat dengan kepala yang besar dan kaki yang gemuk, mengangkut permadani tua, tas, dan bahkan dua karung di atas pelananya, hewan malang itu sempoyongankarena beban itu.

Namun ia berhasil tetap berdiri dan meringkik dari waktu ke waktu. Yang lainnya sedang menyiapkan keledai; anak-anak menarik anjing dengan tali kekang. Pembicaraan, teriakan, kutukan, ratapan, tangisan, gonggongan, ringkikkan – semuanya bercampur. Bahkan seekor keledai meringkik beberapa kali. Tetapi sang pemimpin itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, seolah-olah semua itu tidak menjadi urusannya. Benar-benar orang yang bijak!

Dia hanya duduk termenung dan terdiam, dengan kepala tertunduk. Sesekali dia meludah; itu saja. Tetapi karena perilakunya yang aneh, popularitasnya tumbuh sedemikian rupa sampai-sampaisetiap orang akan melalui api dan air, seperti yang mereka katakan, demi dirinya. Percakapan seperti ini dapat terdengar di sana:

– Kita seharusnya senang karena menemukan pria seperti itu. Seandainya kita berangkat tanpa dirinya, amit-amit! Kita pasti akan binasa. Dia memiliki kecerdasan sejati! Dia pendiam. Dia belum mengucapkan sepatah kata pun! – kata seseorang sambil melihat sang pemimpin dengan rasa hormat dan bangga.

– Apa yang harus dia katakan? Siapa pun yang banyak bicara, tidak akanbanyak berpikir. Pria yang cerdas, pastinya! Dia hanya merenung dan tidak mengatakan apa-apa, – tambah orang yang lain, dan memandang sang pemimpin itu dengan kagum.

– Tidak mudah untuk memimpin begitu banyak orang! Dia harus mengumpulkan pikirannya karena dia punya tugas yang besar di tangannya, – kata orang yang pertama lagi.

Waktu untuk memulai perjalanan pun tiba. Namun, mereka menunggu sebentar untuk melihat apakah ada orang lain yang akan berubah pikiran dan mengikuti mereka, tetapi karena tidak ada yang datang, mereka tidak dapat berlama-lama lagi.

– Apakah kita bisa berangkat sekarang? – tanyamereka kepada sang pemimpin.

Dia berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Pria-pria yang paling berani segera berkumpul di sekelilingnya untuk menjaganya jika terjadi bahaya atau keadaan darurat.

Sang pemimpin, mengerutkan kening, menundukkan kepalanya, mengambil beberapa langkah, lalu mengayunkan tongkatnya di depan dirinya dengan cara yang anggun. Kumpulan itu bergerak di belakangnya dan berteriak beberapa kali, “Hidup pemimpin kita!” Dia mengambil beberapa langkah lagi dan menabrak pagar di depan balai desa. Di sana, tentu saja, dia berhenti; jadi kelompok itu juga berhenti. Sang pemimpin kemudian mundur sedikit dan mengetukkan tongkatnya ke pagar beberapa kali.

– Anda ingin kami melakukan apa? – tanyamereka.

Dia tidak mengatakan apa-apa.

– Apa yang harus kita lakukan? Runtuhkan pagarnya! Itulah yang harus kita lakukan! Apa kalian tidakmelihat dia yang menunjukkan kepada kita dengan tongkatnya apa yang harus kita lakukan? – teriak mereka yang berdiri di sekeliling sang pemimpin.

– Itu gerbangnya! Itu gerbangnya! – teriak anak-anak sambil menunjuk ke arah gerbang yang berdiri di seberang mereka.

– Diam, tenang, anak-anak!

– Ya Tuhan, apa yang terjadi? – beberapa wanita membuat tanda salib.

– Tidak ada sepatah kata pun! Dia tahu apa yang harus dilakukan. Runtuhkan pagarnya!

Dalam sekejap pagar itu roboh seolah-olah tidak pernah ada di sana.

Mereka melewati pagar itu.

Belum sampaiseratus langkah mereka berjalan, sang pemimpin menabrak sebuah semak besar berduri dan berhenti. Dia berhasil menarik dirinya keluar dengan susah payah kemudian mulai mengetukkan tongkatnya ke segala arah. Tidak ada seorangpun yang bergeming.

– Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? – teriak orang-orang di belakang.

– Tebas semak berduri itu! – teriak orang-orang yang berdiri di sekeliling sang pemimpin.

– Jalannyaada di situ, di balik semak berduri itu! Itu dia! – teriak anak-anak dan orang-orang di belakang.

– Itu jalannya! Itu jalannya! – cemooh orang-orang di sekelilingsang pemimpin, menirukan dengan marah. – Bagaimana kita yang buta ini tahu kemana dia memimpin kita? Setiap orang tidak bolehsembarangan memberikan perintah. Sang pemimpin tahu rute yang terbaik dan paling cepat. Tebas semak berduri itu!

Mereka langsungmasuk ke dalam semak untuk membuka jalan.

– Aduh, – teriak seseorang yang tangannya tersangkut duri dan seseorang lainnya yang wajahnya terpukul oleh ranting buah blackberry.

– Saudara-saudara, kalian tidak bisa mendapatkan sesuatu tanpa pengorbanan. Kalian harus sedikit memaksakandiri untuk bisa berhasil, – jawab orang yang paling berani di kelompok itu.

Mereka berhasil menerobos semak setelah berusaha keras dan melanjutkan perjalanan.

Setelah berjalan sedikit lebih jauh, mereka menemukan sekumpulan batang kayu. Kumpulan ini pun dibuang ke samping. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan.

Perjalanan mereka cukup pendek di hari pertama karena mereka harus mengatasi beberapa rintangan yang serupa. Dan mereka hanya memliki sedikit makanan karena beberapa diantara mereka hanya membawa roti kering dan sedikit keju, sementara yang lain hanya memiliki sedikit roti untuk memuaskan rasa lapar mereka. Beberapa yang lainbahkan tidak memiliki apa-apa. Untungnya saat itu adalah musim panas sehingga mereka dapat menemukan pohon buah-buahan di sana-sini.

Jadi, meskipundi hari pertama mereka hanya menemukan hamparan kecil di belakang mereka, mereka merasa sangat lelah. Tidak ada bahaya besar dan musibah yang muncul. Tentu saja dalam usaha yang besar seperti itu kejadian-kejadian seperti ini akan dianggap sepele: duri yang menusuk mata kiri seorang wanita, yang dia tutupi dengan kain yang lembab; seorang anak yang menangis dan tersandung sebatang kayu; seorang lelaki tua yang terjerembab ke semak blackberry dan pergelangan kakinya terkilir; setelah bawang bombay diletakkan di atas kakinya, pria itu menahan rasa sakit dengan berani, lalu bersandar pada tongkatnya, berjalan tertatih-tatih tanpa takut, di belakang sang pemimpin.

(Namun, beberapa orang mengatakan bahwa lelaki tua itu berbohong tentang pergelangan kakinya, dia hanya berpura-pura karena dia ingin kembali ke rumah. )Tak lama kemudian, hanya ada beberapa orang saja yang tidak tertusuk duri di lengan mereka atau tidak terluka di wajahnya. Para pria menanggung semuanya dengan gagah berani sementara para wanita mengucapkan sumpah serapah sepanjang waktu dari saat mereka melangkah pergi dan anak-anak menangis, wajar saja, karena mereka tidak memahami semua kerja keras ini dan rasa sakit untuk mendapatkan imbalan yang berlimpah.

Namun semua orang bahagiadan gembira, karena tidak ada sesuatu yang terjadi kepada sang pemimpin. Sejujurnya, jika kita ingin mengatakan yang sebenarnya, dia memang sangat terlindungi, tetapi tetap saja, pria itu cukup beruntung. Pada malam pertama di perkemahan, semua orang berdoa dan bersyukur kepada Tuhan karena perjalanan hari itu berhasil dan tidak ada, bahkan tidak sedikit pun kemalangan, yang menimpa sang pemimpin. Kemudian salah satu pria yang paling berani mulai berbicara. Wajahnya telah tergores semak blackberry, tapi dia sama sekali tidak mengindahkannya.

– Saudara – saudara, – mulainya. – Perjalanan satu hari ini terbentang dengan sukses di belakang kita, terima kasih Tuhan. Perjalanan ini memang tidak mudah, tetapi kita harus bertahan karena kita semua tahu bahwa jalan yang sulit ini akan membawa kita menuju kebahagiaan. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa melindungi pemimpin kita dari bahaya apa pun agar dia dapat terus memimpin kita dengan berhasil.

– Besok akuakan kehilangan mataku yang lain jika keadaannya seperti hari ini! – katasalah satu wanita dengan marah.

– Aduh, kakiku! – teriak lelaki tua itu, menyahuti ucapan wanita itu.

Anak-anak terus merengek dan menangis, dan para ibu kesulitan untuk mendiamkan mereka agar juru bicara itu dapat terdengar.

– Ya, Anda akan kehilangan mata Anda yang lain, – dalam ledakan kemarahannya, – dan semoga Anda kehilangan keduanya! Bukanlah suatu kesialan yang besar bagi seorang wanita untuk kehilangan matanya untuk tujuan yang sangat besar. Memalukan! Pernahkah Anda memikirkan tentang kesejahteraan anak-anak Anda? Biarlah separuh dari kita binasa dalam upaya ini! Apa bedanya? Untuk apa satu mata? Apa gunanya mata Anda saat ada seseorang yang menjaga kita dan membawa kita menuju kebahagiaan? Haruskah kita meninggalkan usaha ini hanya karena mata Anda dan kaki orang tua itu?

– Dia bohong! Orang tua itu berbohong! Dia hanya berpura-pura agar dia bisa pulang, – teriak suara-suarayang bergema di semua penjuru.

– Saudara-saudara, siapa pun yang tidak ingin melanjutkan lebih jauh, – kata juru bicara itu lagi, – biarkan saja dia kembali, daripada mengeluh dan menyusahkan kita semua. Sejauh yang saya tahu, saya akan mengikuti pemimpin yang bijaksana ini selama masih ada yang tersisa dalam diri saya!

– Kami semua akan mengikutinya! Kami semua akan mengikutinya selama kamimasih hidup!

Sang pemimpin diam.

Semua orang mulai menatapnya dan berbisik:

– Dia tenggelam dalam pikirannya!

– Orang yang bijak!

– Lihat dahinya!

– Dan selalu mengerutkan dahi!

– Serius!

– Dia berani! Itu terlihat dalam dirinya.

– Kamu benar! Pagar, batang kayu, mawar liar – dia menebas semuanya. Dia mengetukkan tongkatnyadengan pelan, tidak mengatakan apa-apa, dan kita harus menebak apa yang ada di dalam pikirannya.

(halaman sebelumnya)

Pemimpin (1/3)

– Saudara-saudara dan teman-teman, saya sudah mendengarkan semua pidato kalian, jadi sekarang, saya meminta kalian untuk mendengarkan saya. Semua musyawarah dan percakapan kita tidak akanada artinya jika kita tetap tinggal di daerah yang tandus ini. Di tanah yang berpasir dan di atas bebatuan ini tidak ada tanaman yang bisa tumbuh, bahkan ketika ada hujan tahunan sekalipun, apalagi di musim kemarau yang belum pernah kita lihat sebelumnya ini.

Mau berapa lama lagi kita akan berkumpul seperti ini dan membicarakanomong kosong? Hewan-hewan ternak sudah sekarat karena tidak ada makanan, dan tidak lama lagi, kita dan anak-anak kita juga akan kelaparan. Kita harus menemukan solusi lain yang lebih baik dan lebih masuk akal. Saya rasaakan lebih baik untuk kita, jika kita meninggalkan tanah yang gersang ini dan menjelajahi dunia untuk menemukan tanah yang lebih baik dan lebih subur karena kita sudah tidak bisa lagi hidup seperti ini.

Pada suatu pertemuan, seorang penduduk di sebuah provinsi yang tidak subur berbicara dengan suara yang lelah. Tempat dan waktunya, aku rasa, bukanlah urusan kalian atau aku. Kalian harus mempercayaiku bahwa hal tersebut terjadi di suatu tempat di suatu pulau di masa lalu, dan itu saja sudah cukup. Sejujurnya, aku selalu mengira bahwa akulah yang mengarang keseluruhan cerita ini, tetapi sedikit demi sedikit aku bisa membebaskan diriku dari prasangka yang buruk itu. Sekarang aku sangat yakin bahwa aku bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan pasti telah terjadi di suatu tempat pada suatu waktu dan aku tidak akan pernah bisa mengarangnya.

Mereka yang mendengarkan, dengan wajah yang pucat, kuyu, dan dengan tatapan yang kosong, suram, dan hampir tidak memahami, dengan tangan yang diletakkan di bawah ikat pinggang, terlihat menjadi hidup setelah mendengar kata-kata yang bijak ini. Masing-masing dari mereka membayangkan bahwa dirinya pernah berada di semacam tempat surgawi yang ajaib di mana imbalan dari pekerjaan yang melelahkan adalah panen yang melimpah.

– Dia benar! Dia benar! – bisik suara-suarayang kelelahan di semua penjuru.

– Apakah tempat ini de…k…at? – gumam seseorang di sebuah sudut.

– Saudara-saudara! – pidato lainnya dimulai dengan suara yang lebih lantang. – Kita harus segera mengikuti saran ini karena kita sudah tidak bisa lagi hidup seperti ini. Kita sudah bekerja dan berusaha dengan keras, tetapi semuanya sia-sia. Kita sudah menabur benih yang seharusnya bisa kita gunakan sebagai bahan pangan, tetapi banjir datang dan menyapu benih dan tanah dari lereng hingga hanya tersisa batuan yang gersang. Apa kita harus tinggal di sini selamanya dan bekerja dari pagi hingga malam hanya untuk kelaparan dan kehausan, tanpa pakaian dan bertelanjang kaki? Kita harus pergi dan mencari tanah yang lebih baik dan lebih subur di mana kerja keras kita akan menghasilkan panen yang melimpah.

– Ayo! Kita harus segera pergi dari tempat ini karena sudah tidak layak lagi untuk ditinggali!

Bisikan-bisikan mulaibermunculan, dan masing-masing dari mereka mulai berjalan pergi, tanpa memikirkan tujuan mereka.

– Tunggu, saudara-saudara! Mau pergi ke mana kalian? – pembicara pertama mulai berbicara lagi. – Tentu saja kita harus pergi, tapi bukan seperti ini. Kita harus tahu tujuan kita. Jika tidak, kita bukannyamenyelamatkan diri kita sendiritapi malah berakhir dalam situasi yang lebih buruk. Lebih baik, kita memilih pemimpin yang dapat kita patuhi dan menunjukkan kepada kita jalan yang terbaik dan paling efektif.

– Ayopilih! Mari kita pilih seseorang, – sahutan semacam itu terdengar di mana-mana.

Dan sekarang perdebatan itu dimulai, sebuah kekacauan yang nyata. Semua orang berbicara dan tidak ada yang mendengarkan atau dapat mendengarkan. Mereka mulai terbagi dalam kelompok-kelompok, setiap orang bergumam pada dirinya sendiri, dan bahkan kelompok itu pun terpecah. Menjadi dua, keduanya mulai saling berkomunikasi satu sama lain menggunakan lengan, berbicara, mencoba untuk membuktikan sesuatu, saling menarik lengan, dan memberi isyarat diam dengan tangan mereka. Kemudian mereka semua berkumpul kembali, dan masih berbicara.

– Saudara-saudara! – Tiba-tiba terdengar suara yang jauh lebih kuat dan menenggelamkan semua suara serak dan bodoh lainnya. – Kita tidak bisa mencapai kesepakatan dengan caraseperti ini. Semua orang berbicara dan tidak ada yang mendengarkan. Kita harus memilih seorang pemimpin! Siapa di antara kita yang bisa kita pilih? Siapa di antara kita yang sudah melakukan banyak perjalanan dan mengetahui jalan raya? Kita semua saling mengenal dengan baik, namun saya sendiri tidak akan menempatkan diri saya dan anak-anak saya di bawah kepemimpinan seseorang yang ada di sini. Coba beri tahu saya, siapa yang mengenal pengelana yang sudah duduk dan berteduh di tepi jalan dari tadi pagi itu?

Suasana tiba-tiba hening. Semua orangmenengok ke arah orang asing itu dan memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Si pengelana paruh baya dengan wajah muram yang hampir tidak terlihat karena janggut dan rambut panjangnya, tetap terduduk diam seperti sebelumnya, tenggelam dalam pikirannya, dan mengetuk-ngetukkan tongkat besarnya ke tanah sepanjang waktu.

– Kemarin saya melihat pria itu dengan seorang anak laki-laki. Mereka saling berpegangan tangan dan menyusuri jalan. Dan semalam, anak laki-laki itu meninggalkan desa, tetapi orang asing itu tetap tinggal di sini.

– Saudara-saudara, marikita lupakan hal-hal yang sepele dan konyol ini agar kita tidak menghabiskan waktu. Siapapun dia, dia datang dari tempat yang jauh karena tidak ada seorangpun dari kita yang mengenalnya dan dia pasti tahu caratercepat dan terbaik yang bisa mengarahkan kita. Menurut penilaian saya, dia adalah orang yang sangat bijak karena dia duduk diam sambil berpikir. Orang lain pasti sudah ikut campur dengan urusan kita atau memulai percakapan dengan salah satu dari kita, tetapi dia tetap duduk di sana sendirian dan tidak mengatakan apa-apa.

– Benar, pria itu duduk terdiam karena sedang memikirkan sesuatu. Tidak salah lagi, dia pasti sangat pintar, – yang lain pun sependapat dan mulai memperhatikan orang asing itu lagi. Masing-masing dari mereka menemukan sifat cemerlang dalam diri orang asing itu, bukti dari kecerdasannya yang luar biasa.

Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk berdiskusi, jadi pada akhirnya semua orang setuju bahwa carayang terbaik adalah dengan bertanya kepada si pengelana ini-yang, menurut mereka, telah Tuhan kirimkan untuk memimpin mereka ke dunia luar untuk mencari wilayah yang lebih baik dan tanah yang lebih subur. Dia harus menjadi pemimpin mereka, dan mereka akan mendengarkan dan mematuhi si pengelana itu tanpa ragu.

Mereka memilih sepuluh orang diantara mereka untukberbicara kepada orang asing itu dan menjelaskan keputusan mereka kepadanya. Delegasi ini akanmenjelaskan keadaan yang menyedihkan ini dan meminta dirinya untuk menjadi pemimpin mereka.

Jadi kesepuluh orang itu pergi dan membungkuk dengan rendah hati. Salah satu dari mereka mulai berbicara tentang tanah yang tidak produktif di daerah itu, tentang kemarau yang terjadi selama bertahun-tahun dan penderitaan mereka. Dia menyelesaikannya dengan caraseperti ini:

– Kondisi ini memaksa kami untuk meninggalkan rumah dan tanah kami dan pindah ke dunia luar untuk mencari tanah air yang lebih baik. Pada titik ini ketika kami akhirnya mencapai kesepakatan, sepertinya Tuhan telah menunjukkan belas kasih. Nya kepada kami, dengan mengirimkan Anda kepada kami – Anda, orang asing yang bijaksana dan pantas – dan Anda akan menuntun kami dan membebaskan kami dari kesengsaraan kami. Atas nama semua penduduk di sini, kami meminta Anda untuk menjadi pemimpin kami. Ke mana pun Anda pergi, kami akan mengikuti. Anda tahu jalannya dan Anda pasti terlahir di sebuah tanah air yang lebih bahagia dan lebih baik. Kami akan mendengarkan Anda dan mematuhi setiap perintah Anda. Apakah Anda, wahai orang asing yang bijak, bersediauntuk menyelamatkan banyak jiwa dari kehancuran? Maukah Anda menjadi pemimpin kami?

Di sepanjang pidato permohonan ini, orang asing yang bijaksana itu tidak pernah sekalipun mengangkat kepalanya. Dia tetap berada di posisi yang samaseperti saat mereka melihatnya. Kepalanya menunduk, mengerutkan kening, dan tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengetukkan tongkatnya ke tanah dari waktu ke waktu dan-berpikir. Saat pidato tersebut selesai, dia bergumam singkat dan perlahan tanpa mengubah posisinya:

– Saya mau!

– Bolehkah kami pergi bersama Anda dan mencari tempat yang lebih baik?

– Kalian boleh! – lanjutnya tanpa mengangkat kepalanya.

Antusiasme dan ungkapan rasa syukur mulai bermunculan, tetapi orang asing itu tidak mengatakan sepatah kata pun.

Kesepuluh orang itu memberi tahu kumpulan orang-orang itu tentang kesuksesan mereka, dan menambahkan bahwa sekarang, mereka baru menyadari betapa besarnya kebijaksanaan yang dimiliki oleh pria ini.

– Dia bahkan tidak bergerak dari tempat itu atau setidaknya mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang berbicara dengannya. Dia hanya duduk diam dan bermeditasi. Sebagai respon terhadap semua pembicaraan dan penghargaan kami, dia hanya mengucapkan empat patah kata.

– Seorang bijak sejati! Kecerdasan yang langka! – mereka berteriak gembira dari semua sudut dan mengklaim bahwa Tuhan-lahyang mengirimkan dirinya sebagai malaikat dari surga untuk menyelamatkan mereka. Semua orang sangat yakin pada kesuksesan di bawah pemimpin seperti dirinya yang tidak dapat diganggu oleh apa pun di dunia ini. Setelah itu mereka memutuskan untuk berangkat keesokan harinya di saat fajar.

(halaman berikutnya)

Cap

Akupernah mendapatkan sebuah mimpi buruk. Aku tidak terlalu tenggelam dalam mimpi itu, tetapi aku bertanya-tanya, bagaimana aku bisa seberani itu untuk bermimpi tentang hal-hal yang mengerikan, padahal aku adalah seorang warga negara yang pendiam dan terhormat, seorang anak yang patuh dari ibu kita tercinta, Serbia yang menderita, sama seperti anak-anaknya yang lain. Tentu saja, jika aku adalah pengecualian dalam segala hal, hal itu akan berbeda, tetapi tidak, kawanku, aku melakukan hal yang sama seperti orang lain, dan berhati-hati dalam segala hal adalah keahlianku.

Suatu ketika aku melihat sebuah kancing yang berkilau dari seragam polisi yang tergeletak di jalan, dan aku menatap cahaya yang ajaib itu, sesaat sebelum melewatinya, penuh dengan kenangan manis, tiba-tiba, tanganku mulai bergetar dan aku bergegas memberi hormat; kepalaku tiba-tiba menunduk ke bumi, dan mulutku melebar menjadi senyuman indah yang kita semua kenakan saat menyapa atasan kita.

—  Darah bangsawan mengalir di pembuluh darahku –pasti itulah yang menjadi alasannya! — Hal inilah yang aku pikirkan pada saat itu dan aku memandang dengan jijik pada orang-orang yang tidak tahu sopan santun dan lewat sembarangan sambil menginjak kancing itu.

— Kampungan! — Aku berkata dengan getir, dan meludah, lalu berjalan kembali dengan tenang, terhibur oleh pikiran bahwa orang-orang kampungan seperti itu jumlahnya sedikit; dan aku sangat senang bahwa Tuhan telah memberiku hati yang halus serta darah yang mulia dan sopan dari nenek moyang kami.

Nah, sekarang kalian bisa melihat betapa hebatnya aku, sama sekali tidak berbeda dari warga terhormat lainnya, dan kalian pasti bertanya-tanya bagaimana hal-hal yang begitu mengerikan dan bodoh bisa terjadi dalam mimpiku.

Tidak ada hal aneh yang terjadi kepadaku di hari itu.Aku menikmati makan malam yang enak dan setelah itu duduk sambil membersihkan gigi dengan tusuk gigi di waktu senggang; menyeruput anggur, kemudian, setelah menggunakan hak-hakku sebagai warga negara dengan berani dan hati-hati, aku pergi ke kamar tidur dan membawa sebuah buku agar bisa tidur lebih cepat.

Buku itu segera terlepas dari tanganku, tentunya, setelahbuku itu memuaskan keinginanku dansemua tugasku sudah selesai, aku tertidur seperti seekor anak domba yang polos.

Tiba-tiba aku menemukan diriku di sebuah jalan yang sempit dan berlumpur dengan arah melewati pegunungan.Sebuah malam yang dingin dan hitam.Angin menderu-deru di antara cabang-cabang yang tandus dan memotong seperti pisau cukur setiap kali menyentuh kulit yang telanjang. Langit yang hitam nanbodoh, dan mengancam, serta salju, yang seperti debu, bertiup ke arah mata dan menghantam wajah. Tidak terlihat sesosok jiwa pun di sana. Aku mempercepat langkah dan sesekali terpeleset di jalan yang berlumpur, ke kiri dan ke kanan. Aku terhuyung-huyung dan terjatuh dan akhirnya tersesat, aku terus mengembara — entah di mana — dan ini bukanlah sebuah malam yang singkat dan biasa, tetapi terasa seperti seabad, dan aku terus berjalan tanpa tahu berada di mana.

Jadi aku berjalan selama bertahun-tahun dan tibadi suatu tempat, jauh, sangat jauh dari negara asalku ke bagian dunia yang tidak aku ketahui, sebuah negeri yang asing yang mungkin tidak diketahui oleh siapa pun dan, aku yakin, hanya dapat ditemukandi dalam mimpi.

Saat menjelajahi tanah itu, akutibadi sebuah kota besar dan ada banyak orang yang tinggal di sana. Di sebuah pasar yang besar ada sekumpulan orang, sebuah suara yang mengerikan terdengar, cukup untuk meledakkan gendang telinga seseorang. Aku menginap di sebuah penginapan yang menghadap ke pasar dan bertanya kepada pemiliknya, mengapa ada begitu banyak orang yang berkumpul…

— Kami adalah orang-orang yang pendiam dan terhormat, — dia memulai ceritanya, — kami setia dan patuh kepada lurah.

— Apakah lurah adalah pemimpin tertinggimu? – Tanyaku, menyela dirinya.

— Lurahlah yang berkuasa di sini dan dia adalah pimpinan tertinggi kami; kekuasaan selanjutnya ada di tanganpolisi.

Aku tertawa.

— Mengapa kamu tertawa? … Apa kamu tidak tahu? … Darimana kamu berasal?

Aku memberi tahu dirinya tentang bagaimana aku bisa tersesat, dan mengatakan padanya bahwa aku datang dari sebuah negeri yang jauh — Serbia.

— Aku pernah mendengar Negara yang terkenal itu! –bisiksipemilik penginapan kepada dirinya sendiri, menatapku dengan hormat, kemudian berbicara dengan lantang:

— Itulah carakami, — lanjutnya, — lurahlah yang berkuasa disini bersama polisi-polisinya.

— Seperti apa polisi kalian?

— Sebenarnya, ada beberapa macam polisi di sini — mereka berbeda-beda, tergantung pangkatnya. Ada yang lebih terpandang dan ada yang kurang terpandang… Kami, seperti yang kamu tahu, adalah orang-orang yang pendiam dan terhormat, tetapi ada banyak gelandangan yang datang dari lingkungan sekitar, mereka merusak kehidupan kami dan mengajari kami hal-hal yang jahat. Untuk membedakan warga negara kami dengan yang lain, kemarin, lurah memberi sebuah perintah bahwa seluruh warga kami harus pergi ke Pengadilan setempat, di mana masing-masing dari kami akan dicap dahinya. Itulah sebabnya mengapa ada begitu banyak orang yang berkumpul: untuk memutuskan apa yang harus dilakukan.

Tubuhku bergidik dan aku berpikir bahwa aku harus melarikan diri dari negeri yang asing ini secepatnya, karena, meskipun aku seorang Serbia, aku tidak terbiasa dengan semangat kesatriaseperti itu, dan aku jadi sedikit gelisah!

Sang pemilik rumah tertawa lepas, menepuk pundakku, dan berkata dengan bangga:

— Ah, dasarorang asing, apakah yang tadi saja sudah cukup untuk membuatmu takut? Tidak heran, kamu harus menempuh perjalanan yang panjang untuk menemukan keberanian seperti kami!

— Laluapa yang akan kalian lakukan? — Tanyaku dengan takut.

— Pertanyaan yang bagus! Kamu akan melihat seberapa beraninya kami. Kamu harus menempuh jalan yang panjang untuk menemukan keberanian seperti kami.Kamu telah melakukan perjalanan yang jauh dan melihat dunia, tetapi aku yakin kamu belum pernah melihat pahlawan yang lebih hebat daripada kami.Ayo kita pergi kesana bersama.Aku harus segera ke sana.

Ketika kami akan pergi, kami mendengar, di depan pintu, ada suara cambukkan.

Aku mengintip keluar: ada sesuatu yang menarik perhatianku — seorang pria dengan topi khas petugas yang berkilau di kepalanya, mengenakan setelan yang mencolok, dan sedang menunggangi seorang pria lainnya dengan pakaian sipil yang sangat elegan. Dia berhenti di depan penginapan dan si penunggang itu turun.

Si pemilik penginapan keluar, membungkuk, dan pria dengan setelan yang mencolok itu masuk ke dalam penginapan menuju meja yang sudah dihias secara khusus.Pria yang berpakaian sipil menunggu di depan penginapan. Si pemilik penginapan juga membungkuk kepadanya.

— Untukapa semua itu? –Tanyaku dengan sangat bingung kepada pemilik penginapan.

— Nah, yang tadi masuk ke penginapan ini adalah seorang polisi berpangkat tinggi, dan priayang itu adalah salah satu warga negara kami yang paling terhormat, sangat kaya, dan seorang patriot yang hebat, — bisik si pemilik penginapan.

— Tapi kenapa dia membiarkan orang lainmenaiki punggungnya?

Si pemilik penginapan menggelengkan kepalanya ke arahku lalu kami menepi ke samping. Dia memberiku senyumanyang mengejek dan berkata:

— Kami menganggap hal tersebut sebagai kehormatan besar yang jarang didapatkan! — Dia juga memberitahuku banyak hal hebat selain hal itu, tetapi aku sangat bersemangat sehingga aku tidak bisa mengingatnya. Tapi aku mendengar dengan jelas apa yang dia katakan di akhir pembicaraan: — Ini adalah sebuah pengorbanan untuk negara, yang belum dipelajari dan dihargai oleh negaralainnya!

Kami mendatangipertemuan itu dan proses pemilihan ketua sedang berjalan.

Kelompok pertama menyalonkan seorang laki-laki bernama Kolb, kalau aku tidak salah dengar, sebagai calon ketua; kelompok kedua menginginkan Talb, dan kelompok ketiga memiliki calonnya sendiri.

Terjadi kebingungan yang mengerikan; setiap kelompok menginginkan pilihan mereka masing-masing.

— Saya rasa, tidak ada orang yang lebih baik daripada Kolb yang bisa menjadi ketua dari pertemuan yang sepenting itu, — kata sebuah suara dari kelompok pertama, — karena kita semua tahu betul tentang kebajikannya sebagai warga negara dan keberaniannya yang besar. Saya rasa tidak ada seorang pun di antara kita di sini yang bisa membanggakan diri karena sering ditunggangi oleh orang-orang yang sangat penting…

— Anda tidak berhak untuk bicara seperti itu, — pekik seseorang dari kelompok kedua. — Anda tidak pernah ditunggangi oleh seorang petugas polisi junior!

— Kami tahu kebajikan Anda, — seru seseorang dari kelompok ketiga. — Anda tidak akan pernah bisa menahan satu pukulan cambuk pun tanpa melolong!

— Mari kita luruskan hal ini, saudara-saudara! – Kolb memulai percakapan. — Memang benar bahwa orang-orang terkemuka pernah menunggangi saya sepuluh tahun yang lalu; mereka mencambuk saya dan saya tidak pernah menangis, tetapi mungkin, ada yang lebih pantas di antara kita. Mungkin ada calon yang lebih muda dan lebih baik.

— Tidak, tidak, — teriak para pendukungnya.

— Kami tidak ingin mendengar tentang prestasi yang sudah ketinggalan zaman! Sudah lewat sepuluh tahun dari sejak Kolb ditunggangi, — teriak suara-suara dari kelompok kedua.

— Darah mudalahyang akanmengambil alih, biarkan anjing tua mengunyah tulang yang tua, — kata beberapa orang dari kelompok ketiga.

Tiba-tiba suasana menjadi hening; orang-orang bergerak mundur, ke kiri dan ke kanan, untuk membuka jalan dan aku melihat seorang pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun.Saat dia mendekat, semua kepala tertunduk.

— Dia siapa? — Bisikkukepada pemilikpenginapan.

— Dia adalah pemimpin favorit. Seorang pria muda, tapi sangat menjanjikan.Di hari-hari awalnya, dia bisa membanggakan diri karena pernah menggendong lurah di punggungnya sebanyak tiga kali.Dia lebih populer dari siapapun.

— Apa mereka akan memilihnya? — Tanyaku lagi.

— Itu lebih dari pasti, karena kandidat lainnya — mereka semua lebih tua, waktu sudah menyusul mereka, sedangkan kemarin, lurah pernah naik sebentar di punggungnya.

— Siapa namanya?

— Kleard.

Mereka memberinya tempat terhormat.

— Saya rasa, — Suara Kolb memecah kesunyian, — kita tidak dapat menemukan pria yang lebih baik untuk posisi ini selain Kleard. Dia masih muda, tapi tidak seorangpun dari kita yang lebih tua, yang setara dengannya.

— Benar,benar! … Hidup Kleard! … — teriak semua suara.

Kolb dan Talb mengantarnya ke tempat ketua.Semua orang membungkuk, dan suasana menjadi sangat hening kala itu.

— Terima kasih, saudara-saudara, atas rasa hormat yang tinggi dan penghargaan yang telah kalian berikan dengan suara bulat kepada saya. Harapan kalian, yang ada pada saya sekarang, terlalu berlebihan. Tidaklah mudah untuk mengarahkan kapal yang terisi dengan keinginan suatu bangsa untuk melalui hari-hari yang penting, tetapi saya akan melakukan segala daya upaya untuk menggunakan kepercayaan kalian, untuk mewakili pendapat kalian dengan jujur, dan untuk mendapatkan penghargaan kalian yang tinggi. Terima kasih, saudara-saudara, karena telah memilih saya.

— Hore! Hore! Hore! –gemuruh seluruh pemilih di semua penjuru.

— Dan sekarang, saudara-saudara, saya harap kalian dapat mengizinkan saya untuk menyampaikan beberapa patah kata tentang acara yang penting ini. Tidaklah mudah untuk menahan rasa sakit seperti itu, siksaan berat yang menanti kita; tidaklah mudah untuk memberikan dahi kita untuk dicap dengan besi yang panas. Memang, tidak mudah — itu adalah rasa sakit yang tidak semua orang bisa menahannya. Biarlah para pengecut gemetar, biarkan mereka memucat ketakutan, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa kita adalah putra para leluhur yang pemberani, bahwa darah bangsawan mengalir di nadi kita, darah heroik kakek kita, para ksatria hebat yang dulu mati tanpa mengedipkan kelopak mata untuk kemerdekaan dan untuk kebaikan kita semua, kita adalah keturunan mereka.

Penderitaan yang kita alami ini kecil, jika kalian membandingkannya dengan penderitaan mereka — apakah kitaakan berperilaku seperti keturunan yang mengalami kemunduran dan pengecut karena kita hidup lebih baik daripada sebelumnya? Setiap patriot sejati, setiap orang yang tidak ingin mempermalukan bangsa kita di hadapan seluruh dunia, akan menanggung rasa sakit layaknyaseorang pria dan seorang pahlawan.

— Benar! Benar! Hidup Kleard!

Ada beberapa pembicara yang berapi-api setelah Kleard; mereka menyemangati orang-orang yang ketakutan dan kurang lebih mengulangi hal yang sama dengan apa yang dikatakan Kleard.

Kemudian seorang lelaki tua yang pucat dan terlihat lemah, dengan wajahnya yang keriput, rambut dan janggutnya yang seputih salju, meminta ijin untuk berbicara. Lututnya goyah karena usia, tangannya bergetar, punggungnya bungkuk. Suaranya gemetar, matanya berkaca-kaca.

— Anak-anak, — dia memulainya, dengan air mata yang mengalir di pipinya yang putih dan keriput dan terjatuh di janggut putihnya, — Aku sengsara dan aku akan segera mati, tetapi menurutku sebaiknya kalian tidak membiarkan rasa malu seperti itu datang kepada kalian. Umurku seratus tahun, dan akumasih tetap hidup tanpa hal itu!… Mengapa cap perbudakan harus tergambar di kepalaku yang putih dan lelah ini sekarang? …

— Hentikan perkataan itu bajingan tua! — teriaksang ketua.

— Hentikan dia! — teriakyang lainnya.

— Pengecut tua!

— Bukannya menyemangati kaum muda, dia malah menakuti semua orang!

— Dia seharusnya malu dengan ubannya! Dia telah hidup cukup lama, dan dia masih saja takut — kita yang masih muda malah lebih berani…

— Hentikan pengecut itu!

— Usir dia!

— Hentikan dia!

Sekelompok patriot muda pemberani yang marah menyerbu lelaki tua itu dan mulai mendorong, menarik, dan menendangnya dalam amarah mereka.

Mereka akhirnya membiarkan dia pergi karena usianya –kalau bukan karena usia, mereka pasti akan melempari dia hidup-hidup dengan batu.

Mereka semua berjanji kepada diri mereka sendiri untuk menjadi berani esok hari dan menunjukkan bahwa diri mereka layak atas kehormatan dan kemuliaan dari bangsa mereka.

Orang-orang meninggalkan pertemuan itu dengan sangat tertib. Saat berpisah mereka berkata:

— Besok kita akanmelihat jati diri orang-orang yang sebenarnya!

— Kitaakanmengetahui siapa saja yang pembualbesok!

— Inilah saat yang tepatbagi orang-orangyang pantas untuk membedakan diri mereka dengan mereka yang tidak pantas, sehingga seorang bajingan tidak bisa membangga-banggakan hati yang berani!

Aku kembali ke penginapan.

— Kamu sudah melihat kan kalau kami ini terbuat dari apa? — sang pemilik penginapan bertanya kepadaku dengan bangga.

— Tentu saja, — Aku otomatis menjawab, dan merasa bahwa kekuatanku telah meninggalkanku dan kepalaku berdengung dan meninggalkan kesan yang aneh.

Pada hari itu juga,aku membaca sebuah artikel utama di koran mereka yang berbunyi seperti ini:

— Wahai warga negara, inilah saatnya untuk menghentikan kesombongan dan bualan di antara kita; inilah saatnya untuk berhenti menghargai kata-kata kosong yang kita gunakan secara berlebihan untuk menampilkan kebajikan khayalan kita. Waktunya telah tiba, wahai warga negara, untuk menguji kata-kata kita dan menunjukkan siapa yang benar-benar pantas dan siapa yang tidak! Tapi kami percaya bahwa tidak akan ada pengecut yang memalukan di antara kita yang harus dibawa secara paksa ke tempat pengecapan yang telah ditentukan. Masing-masing dari kita yang di nadinya mengalir setetes darah mulia dari nenek moyang kita, akan berjuang untuk menjadi orang pertama yang menanggung rasa sakit dan kesedihan ini, dengan rasa bangga dan tenang, karena ini adalah rasa sakit yang suci, ini adalah pengorbanan untuk kebaikan negara kita dan kesejahteraan kita semua. Lanjutkanlah, wahai warga negara, karena besok adalah hari ujian yang mulia!…

Si pemilik penginapan langsung tertidur setelah pertemuan di hari itu agar bisa datang secepat mungkin ke tempat yang telah ditentukan keesokan harinya.Namun, ada banyak orang juga yang langsung pergi ke Balai Kota agar bisa berada sedekat mungkin dengan awal antrian.

Keesokan harinya aku juga pergi ke Balai Kota. Semua orang ada di sana— tua dan muda, pria dan wanita. Beberapa ibu menggendong bayi kecil mereka agar dapat dicap dengan cap perbudakan, yang mereka sebut kehormatan, dan dengan demikian mereka bisa mendapatkan hak yang lebih besar untuk posisi yang tinggi dalam pelayanan sipil.

Terjadi dorongan dan sumpah serapah (untuk yang satu itu, mereka mirip dengankami orang Serbia, dan entah bagaimana aku senang melihat kondisi itu), dan semua orang berusaha keras untuk bisa menjadi yang pertama di depan pintu. Beberapa bahkan saling mencekik leher.

Capini diterapkan oleh seorang pegawai negeri sipil khusus yang mengenakan setelan putih formal dan sedikit mencela warga:

— Ya ampun, jangan berisik, semua orang akan mendapatkan gilirannya –kalian bukan hewan, kita bisa mengaturnya tanpa harus saling mendorong.

Pengecapan dimulai.Ada yang berteriak, ada yang hanya mengerang, tapi tidak ada yang bisa menahannya tanpa suara selama aku berada di sana.

Aku tidak tahan untuk melihat siksaan ini terlalu lama, jadi aku kembali ke penginapan, tetapi beberapa dari mereka sudah berada di sana, makan-makan dan minum-minum.

— Sudah selesai! — kata salah satu dari mereka.

— Ya, kitamemang tidak benar-benar berteriak, tapi Talb meringis seperti keledai! … — kata orang yang lain.

— Kalian lihatsendiri seperti apa Talb kalian, dan kalian ingin dia untuk menjadi ketua pertemuan kemarin.

— Ah, kita tidak pernah tahu!

Mereka berbicara, mengerang kesakitan dan menggeliat, tetapi saling berusaha menyembunyikannya, karena masing-masing dari mereka merasa malu jika dianggap pengecut.

Kleard mempermalukan dirinya sendiri, karena mengerang, dan seorang pria bernama Lear menjadi seorang pahlawan karena dia meminta agar dua cap tertempel di dahinya dan tidak mengeluarkan suara kesakitan. Seluruh kotamembicarakan dirinya dengan sangat hormat.

Beberapa orang melarikan diri, tetapi mereka dipandang rendah oleh semua orang.

Setelah beberapa hari, orang dengan dua cap di dahinya itu berjalan dengan kepala yang terangkat tinggi, dengan martabat dan harga diri, penuh kemuliaan dan kebanggaan, dan kemanapun dia pergi, semua orang membungkuk dan melepaskan topinya untuk memberi hormat kepada pahlawan di hari itu.

Pria, wanita, dan anak-anak mengejarnya di jalanan untuk melihat pria terhebat di negara itu. Ke mana pun dia pergi, bisikan-bisikan yang terinspirasi oleh kekaguman mengikutinya: ‘Lear, Lear! … Itu dia! … Dialah pahlawan yang tidak melolong, yang tidak bersuara saat dua cap ditandaidi dahinya!’Dia menjadi berita utama di surat kabar, dipuji dan dimuliakan.

Dan dia pantas untuk mendapatkan cinta dari para warga.

Di mana-mana aku mendengar pujian untuk dirinya, dan aku mulai merasakan darah tua Serbia yang mengalir di nadiku, nenek moyang kami adalah pahlawan, mereka mati tertusuk untuk mempertaruhkankemerdekaan; kami juga memiliki masa lalu yang heroik dan Kosovo kami sendiri. Aku senang dengan kebanggaan dan kesombongan seorang warga negara, dan ingin menunjukkan seberapa beraninya ras dari negaraku dan bergegas pergi ke Balai Kota lalu berteriak:

— Mengapa kalian memuji Lear kalian?… Kalian belum pernah melihat pahlawan yang sebenarnya! Datang dan saksikan sendiri seperti apa darah bangsawan Serbia itu! Tandai sepuluh cap di kepalaku, tidak hanya dua!

Pegawai negeri sipil berjas putih itu mendekatkan capnya di dahiku, dan aku mulai… Aku terbangun dari mimpiku.

Aku mengusap dahi karena ketakutan dan membuat tanda salib, bertanya-tanya tentang hal-hal aneh yang muncul dalam mimpiku.

— Aku hampir membayang-bayangi kemuliaan Lear mereka, — Aku berpikir dan, merasa puas, membalikkan badan, dan entah bagaimana aku menyesal karena mimpiku belum berakhir.

 

Di Beograd, 1899.
Untuk Proyek “Radoje Domanović” diterjemahkan oleh Verdia Juliansyah Cancerika, 2020.

Pemimpin (3/3)

(mukasurat sebelumnya)

Dengan itu, hari pertama pon berlalu, dan disusuli banyak lagi hari dengan kejayaan yang sama. Tidak ada perkara yang sangat penting berlaku, hanya kejadian-kejadian lazim: mereka jatuh kepala dahulu ke dalam parit, kemudian ke gaung; mereka melaluipohon pembenteng dan semak beri hitam; mereka memijak botol-botol; ada beberapa patah tangan dan kaki; ada yang mengalami luka di kepala. Tetapi semua seksaan ini ditahan. Beberapa orang tua dibiarkan mati terbaring di atas jalan raya. „Mereka tetap akan mati walaupun mereka tinggal di rumah, apatah lagi di jalan!“ kata jurucakap itu, mendorong yang lain untuk meneruskan perjalanan. Beberapa kanak-kanak yang lebih kecil, berumur satu hingga dua tahun, turut mati. Ibu bapa dengan tegas menahan sakit hati mereka kerana itu adalah kehendak Tuhan. „Dan semakin kecil anak-anak, semakin kurang kesedihan itu. Semasa mereka lebih muda, kesedihan adalah kurang. Tuhan mengurniakan ibu bapa untuk tidak akan kehilangan anak-anak mereka sehingga mereka mencapai usia perkahwinan. Sekiranya anak-anak itu telah ditakdirkan, lebih baik mereka mati lebih awal. Maka kesedihan tidak begitu besar! “ jurucakap itu menenangkan mereka lagi. Sebilangan kain dibalut di kepala mereka dan diletakkanpemampat sejuk padalebam-lebam mereka. Yang lain pula memeluk lengan mereka dengan kain selempang. Semuanya compang-camping dan luka. Pakaian mereka tergantung dalam serpihan, tetapi mereka tetap maju ke hadapan dengan senang hati. Semua ini akan lebih mudah ditanggung sekiranya mereka tidak sering merasa lapar. Tetapi mereka harus meneruskanperjalanan.

Pada suatu hari, sesuatu yang amat penting berlaku.

Pemimpin itu berjalan di hadapan, dikelilingi oleh lelaki-lelaki paling berani dalam kumpulan itu. (Dua daripada mereka hilang, dan tidak ada siapa tahu di mana mereka berada. Adalah pendapat umum bahawa mereka telah mengkhianati tujuan mereka dan melarikan diri. Pada satu ketika jurucakap itu mengatakan sesuatu mengenai pengkhianatan mereka yang memalukan. Hanya sebilangan kecil yang percaya bahawa kedua-duanya telah mati di jalanan, tetapi mereka tidak menyuarakan pendapat mereka agar tidak mengghairahkan yang lain.) Ahli kumpulan yang lain berada di belakang mereka. Tiba-tiba muncul sebuah gaung berbatu yang sangat besar dan dalam – jurang yang sebenar. Lereng itu sangat curam sehingga mereka tidak berani melangkah ke hadapan. Malah antara yang paling berani pun berhenti sebentar dan memandang pada si pemimpin. Mengerut, hanyut dalam pemikiran dengan kepalanya ke bawah, beliau dengan berani melangkah ke hadapan, mengetuk tongkatnya di hadapan, mulanya ke kanan, kemudian ke kiri, dengan cara sifatnya. Banyak yang mengatakan semua itu membuatkan beliau kelihatan masih lebih bermaruah. Beliau tidak memandang sesiapa pun dan tidak mengatakan apa-apa. Di wajah beliau tiada perubahan ekspresi atau tanda ketakutan sambil beliau semakin dekat dan dekat dengan tebing itu. Bahkan orang yang paling berani menjadi pucat seperti mayat, tetapi tidak ada yang berani memberi amaran kepada pemimpin yang gagah berani lagi bijaksana itu. Dua langkah lagi dan beliau berada di pinggir. Dalam ketakutan yang mengerikan dan dengan mata terbuka lebar, mereka semua gementar. Orang-orang yang paling berani hanya mampu menahan pemimpin itu, walaupun itu bermaksud melanggar disiplin, ketika beliau melangkah sekali, dua kali, dan terjun ke dalam gaung. Muncul kebingungan, tangisan, jeritan; ketakutan semakin kuat. Ada yang mula melarikan diri.

– Bertahan, saudara! Kenapa tergesa-gesa? Adakah ini cara kamumenyimpan kata-katamu? Kita mesti mengikuti lelaki bijaksana ini kerana beliau tahu apa yang beliau lakukan. Beliaupastinya gila untuk merosakkan diri beliau sendiri. Maju, ikutbeliau! Ini adalah bahaya terbesar dan mungkin bahaya terakhir, rintangan terakhir. Siapa tahu? Mungkin di seberang gaung ini kita akan menjumpai tanah yang indah dan subur yang Tuhan mahukan untuk kita. Maju! Tanpa pengorbanan, kita tidak akan ke mana-mana! – begitu kata-kata nasihat jurucakap itu dan beliau juga mengambil dua langkah ke hadapan, hilang ke dalam gaung. Yang paling berani pun ikut dan kemudian diikuti orang lain terjun ke dalamnya.

Terdapat tangisan, mengerang, berguling, merintih di lereng curam gaung yang luas ini. Seseorang pastinya akan bersumpah bahawa tidak ada yang akan hidup, apalagi tidak cedera dan dalam keadaan yang baik, tetapi kehidupan manusia sangat gigih. Pemimpin itu bernasib baik. Beliau tergantung di atas semak ketika beliau jatuh sehingga beliau tidak terluka. Beliau berjaya menarik dirinya dan keluar. Sambil meratap, mengerang dan menangis bergema di bawah, beliau duduk tidak bergerak, diammembisu. Beberapa orang yang terluka dan marah mula mengutuknya tetapi beliau tidak menghiraukan mereka. Mereka yang bernasib baik dapat memegang semak atau pokok ketika jatuh mula berusaha dengan gigih untuk keluar. Ada yang kepalanya retak sehingga darah mengalir keluar dari wajah mereka. Tiada seorang pun dalam keadaan sempurna kecuali si pemimpin. Mereka semua tiba-tiba mengerutkan kening dan mengerang kesakitan tetapi beliau tidak mengangkat kepalanya. Beliaudiam dan mengekalkan gaya reflektif seorang yang bijaksana!

Beberapa masa berlalu. Jumlah pengembara menjadi semakin kecil. Setiap hari semakin terkesan. Ada yang meninggalkan kumpulan dan berpatah balik.

Dari jumlah besar pada permulaannya, hanya kira-kira dua puluh yang tinggal. Wajah mereka yang lesu dan keletihan menunjukkan tanda-tanda putus asa, keraguan, keletihan dan kelaparan, tetapi tiada yang bercakap walau sepatah pun. Mereka diam seperti pemimpin mereka dan terus berjalan. Bahkan jurucakap yang bersemangat itu pun menggelengkan kepalanya dengan terdesaknya. Jalan itu sesungguhnya memang sukar.

Jumlah mereka berkurang setiap hari sehingga tinggal sepuluh orang sahja. Dengan wajah yang kecewa, mereka hanya mengerang dan mengeluh dari bercakap.

Mereka kelihatan seperti orang-orang lumpuh daripada kaum lelaki biasa. Sebilangannya menggunakan tongkat bantuan. Ada yang memegang lengan mereka dengan selempang yang diikat di leher mereka. Di tangan mereka terdapat banyak pembalut dan pemampat. Jika mereka ingin membuat pengorbanan baru sekalipun, mereka tidak dapat melakukannya kerana hampir tidak ada ruang di badan mereka untuk luka-luka baru.

Yang paling kuat dan paling berani di antara mereka juga telah hilang kepercayaan dan harapan tetapi mereka masih berjuang kuat; iaitu, mereka bertatih dengan usaha yang hebat, mengeluh, dipenuhi kesakitan. Apa lagi yang boleh mereka lakukan sekiranya mereka tidak dapat kembali? Sudah banyak pengorbanan dan sekarang mahu meninggalkan perjalanan?

Senja pun turun. Berjalan tempang dengan tongkat bantuan, mereka tiba-tiba melihat bahawa pemimpin itu sudah tidak berada di hadapan mereka lagi. Selangkah lagi dan mereka semua terjun ke gaung yang lain.

– Oh, kaki saya! Oh, tangan saya! – bergema ratapan dan rintihan. Satu suara yang lemah malah mengutuk pemimpin yang layak itu tetapi kemudian menjadi diam.

Ketika matahari terbit, di sana duduk si pemimpin, sama seperti pada hari ketika beliau dipilih. Tiada sedikit perubahan pon dalam penampilannya.

Jurucakap itu keluar dari gaung itu, diikuti oleh dua yang lain. Cacat dan berdarah, mereka memandang sekeliling untuk melihat berapa ramai lagi yang tinggal, tetapi mereka sahaja yang ada. Ketakutan yang amat dan putus asa memenuhi hati mereka. Wilayah ini tidak diketahui, berbukit, berbatu – tiada laluan di mana-mana. Dua hari sebelumnya mereka menemui jalan raya tetapi telah meninggalkannya. Pemimpin itu memimpin mereka jalan itu.

Mereka memikirkan banyak rakan dan saudara yang telah mati dalam perjalanan yang hebat ini. Kesedihan yang sangat kuat mengatasi rasa sakit di anggota badan mereka yang lumpuh. Mereka telah menyaksikan kehancuran diri mereka dengan mata mereka sendiri.

Jurucakap itu mendekati si pemimpin itu dan mula bercakap dengan suara letih, bergetar penuh dengan keperitan, keputusasaan dan kepahitan.

– Ke mana kita pergi sekarang?

Pemimpin itu diam.

– Di mana kamu membawa kami dan di mana kamu telah membawa kami? Kami meletakkan diri dan keluarga kami di tangan kamu dan kami mengikuti kamu, meninggalkan rumah dan kubur nenek moyang kami dengan harapan kami dapat menyelamatkan diri dari kehancuran di tanah tandus itu. Tetapi kamu telah merosakkan kami dengan cara yang lebih teruk. Ada dua ratus keluarga di belakang kamu dan sekarang lihat berapa ramai!

– Maksud kamu semua orang tidak ada di sini? –ucap si pemimpin tanpa mengangkat kepalanya.

– Bagaimana kamu bertanya soalan seperti itu? Dongak dan lihat! Hitung berapa ramai daripada kami yang tertinggal dalam perjalanan malang ini! Lihat keadaan kami ini! Lebih baik mati daripada dilumpuhkan seperti ini.

– Saya tidak dapat melihat kamu!

– Kenapa tidak?

– Saya buta.

Senyap sunyi.

– Adakah kamu kehilangan penglihatan semasa dalam perjalanan ini?

– Saya dilahirkan buta!

Ketiganya menggantungkan kepala dengan putus asa.

Angin musim luruh bertiup deras melalui pergunungan dan menurunkan daun-daun layu. Kabusberarak di atas bukit, dan melalui udara sejuk yang berkabus mengepakkan sayap-sayap gagak. Bunyi gagak yang mengkhuatirkan bergema. Matahari tersembunyi di sebalik awan, yang bergulung dan bergegas semakin menjauh.

Ketiga-tiga mereka saling memandang dengan rasa ngeri.

– Ke mana kita boleh pergi sekarang? –ucap salah satu dengan tegas.

– Kami tidak tahu!

 

Di Belgrade, 1902
Untuk Projek “Radoje Domanović” yang diterjemahkan oleh Wan Nurul Nabila Wan Mansor, 2020

Pemimpin (2/3)

(mukasurat sebelumnya)

Pada keesokan harinya, semua yang mempunyai keberanian untuk menempuh perjalanan yang panjang pun berkumpul. Lebih dari dua ratus keluarga datang ke tempat yang ditentukan. Hanya beberapa yang tinggal di rumah untuk menjaga tempat tinggal yang lama.

Amatlahsedih melihat sekumpulan orang yang menderita akibatditimpa musibah teruk ini terpaksa meninggalkan tanah kelahiran merekayang mana terletaknya kubur nenek moyang mereka. Wajah mereka lesu, usang dan terbakar panas. Penderitaan yang berat selama bertahun-tahun menunjukkan kesannya pada mereka dan menyampaikan gambaran penderitaan dan keputusasaan yang pahit. Tetapi di dalam saat ini, nampaknya sinar harapan pertama – bercampur dengan kerinduan pada kampung halaman yang pastinya. Air mata mengalir di wajah berkerut seribu seorang tua yang menghela nafas panjang dan menggelengkan kepalanya dengan udara yang berfirasat jahat. Beliaulebih sanggup bertahan seberapa waktu supayabeliau juga dapat mati di antara batu-batu ini daripada mencari tanah halaman yang lebih baik. Sebilangan besar wanita meratap dengan kuat dan mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang mereka sayangi yang telah mati yang kuburnya mereka sedang tinggalkan.

Lelaki-lelaki itu berusaha untuk menunjukkan keberanian dan berteriak, – Baiklah, adakah kalian ingin terus kelaparan di tanah terkutuk ini dan tinggal di pondok-pondok ini? – Sebenarnya mereka inginkan yang terbaik dengan mengambil seluruh wilayah sumpahan itu bersama mereka jika boleh.

Terdapat bunyi bising dan teriakan biasa seperti di setiap kumpulan manusia. Kedua-dua kaum lelaki dan kaum wanita gelisah. Kanak-kanak menjerit dalam buaian di belakang ibu mereka. Malah binatang ternakanjuga tidak begitu selesa. Tidak ada terlalu banyak lembu, seekor anak lembu di sana-sini dan kemudiankuda yang ramping dan kusut berkepala besar dan kaki gemuk di mana mereka memuatkan karpet lama, beg-begbahkan dua karung di atas pelana padat, sehingga binatang malang itu terhoyong-hayang keranamuatan berat itu. Namun ia berjaya bertahan dan meringkik dari masa ke semasa. Yang lain memuatkan keldai-keldai; kanak-kanak pula menarik anjing-anjing dengan tali penambat. Bercakap, menjerit, mengutuk, meratap, menangis, menyalak, meringkik – semuanya melimpah. Bahkan seekor keldai merengeh beberapa kali. Tetapi pemimpin itu tidak berkata sepatah pun, seolah-olah seluruh urusan itu bukan urusannya. Seorang lelaki yang benar-benar bijak!

Beliau hanya duduk termenung dan diam, dengan kepalanya ke bawah. Sesekali beliau meludah; itu sahaja. Tetapi kerana tingkah lakunya yang pelik, kemasyhurannya meningkat sehingga semua orang sanggup melalui api dan air, seperti yang mereka katakan, demi beliau. Perbualan berikut dapat didengari:

– Kita seharusnya gembira kerana menemui lelaki seperti itu. Sekiranya kita bergerak ke hadapan tanpa beliau, Tuhan melarang! Kita pasti akan binasa. Beliau mempunyai kepintaran sebenar, saya pasti! Beliaudiam. Beliau belum mengucapkan sepatah kata pun! – kata seseorang sambil memandang pemimpin itu dengan rasa hormat dan bangga.

– Apa yang harus beliau katakan? Sesiapa yang banyak bercakap tidak berfikir terlalu banyak. Seorang yang pintar, itu pasti! Beliau hanya merenung dan tidak mengatakan apa-apa, – tambah yang lain, dan beliau juga memandang pemimpin itu dengan kagum.

– Tidak mudah untuk memimpin sebegitu ramai orang! Beliau harus mengumpulkan pemikirannya kerana beliau mempunyai tugas besar di dalam tangannya, – kata si pertama sekali lagi.

Tiba masanya untuk bermula. Namun, mereka menunggu sebentar untuk melihat apakah ada orang lain yang akan berubah pikiran dan mengikut mereka, tetapi kerana tidak ada yang datang, mereka tidak dapat menunggu lama lagi.

– Bukankah kita harus pergi? – mereka bertanya kepada si pemimpin.

Beliau bangun tanpa mengucapkan sepatah kata.

Orang-orang yang paling berani segera berkumpul di sekeliling beliau untuk melindung sekiranya menghadapi bahaya atau kecemasan.

Pemimpin itu, mengerutkan kening, kepalanya ke bawah, mengambil beberapa langkah, mengayunkan tongkatnya di hadapannya dengan gaya yang bermaruah. Kumpulan itu bergerak di belakangnya dan berteriak beberapa kali, „Hidup pemimpin kami!“ Beliau mengambil beberapa langkah lagi dan bertembung dengan pagar di hadapan balai kampung. Di sana, sudah pastinya, beliau berhenti; jadi kumpulan itu pun berhenti juga. Pemimpin itu kemudian mundur sedikit dan mengetuk tongkatnya di pagar itu beberapa kali.

– Apa yang kamumahu kami buat? – mereka bertanya.

Beliau tidak berkata apa-apa.

– Apa yang patut kita buat? Runtuhkan pagar itu! Itulah yang harus kita lakukan! Tidakkah kamu melihat bahawa beliau menunjukkan kepada kita dengan tongkatnya apa yang harus dilakukan? – jerit mereka yang berdiri di sekitar pemimpin itu.

– Ada pintu pagar! Ada pintu pagar! – jerit anak-anak kecil dan menunjuk pintu yang berada di seberang hadapan mereka.

– Diam, senyap, anak-anak!

– Tuhan bantu kami, apa yang berlaku ini? – beberapa wanita menyeberang sendirian.

– Diam! Beliau tahu apa yang harus dibuat. Runtuhkan pagar itu!

Sekelip mata pagar itu sudah jatuh seolah-olah ianya tidak pernah ada di situ.

Mereka berlalumelepasi pagar.

Hampir tidak sampai seratus langkah mereka ketika pemimpin itu bertemu semak berduri besar dan berhenti. Dengan susah payahnya, beliau berjaya menarik dirinya keluar dan kemudian mula mengetuk tongkatnya ke semua arah. Tidak siapa pun yang berganjak.

– Dan apa masalahnya sekarang ini? – jerit mereka yang berada di belakang.

– Potong semak duri itu! – teriak orang-orang yang berdiri di sekitar pemimpin tersebut.

– Ada jalan, di belakang semak duri itu! Itu dia! – jerit kanak-kanak sertakebanyakkan orang di belakang.

– Ada jalan di situ! Ada jalan di situ! – ejek orang-orang di sekitar pemimpin, mengajuk dengan kemarahan. – Dan bagaimana kita yang buta ini tahu ke mana beliau membawa kita? Semua orang tidak boleh memberi arahan. Pemimpin ini tahu jalan terbaik dan paling tepat. Potong semak duri itu!

Mereka meredah ke dalam untuk membersihkan jalan itu.

– Aduh, – jerit seseorang yang tersangkut tangannyadengan duri dan orang lain yang wajahnya terkena dahan beri hitam.

– Saudara-saudara, kalian tidak boleh mempunyai sesuatu tanpa apa-apa. Kalian harus berusaha sedikit untuk berjaya, – jawab yang paling berani dalam kumpulan itu.

Mereka menembusi semak itu setelah berusaha dengan kuat lalu bergerak ke hadapan.

Setelah mengembara jauh sedikit, mereka menemui beberapa kayu balak. Ini juga dilemparkan ke tepi. Kemudian mereka teruskan lagi.

Hanya sedikit kawasan berjayadiharungi pada hari pertama kerana mereka harus mengatasi beberapa halangan yang serupa. Dan semua ini dengan hanya sedikit makanan kerana ada yang hanya membawa roti kering dan sedikit keju sementara yang lain hanya mempunyai sedikit roti untuk memuaskan rasa lapar mereka. Ada yang tidak mempunyai apa-apa. Untungnya ianya musim panas, jadi mereka menjumpai pohon buah di sana sini.

Oleh itu, walaupun pada hari pertama hanya sedikit hamparan di belakang mereka, mereka berasa sangat letih. Tidak ada bahaya besar yang muncul dan tidak ada kemalangan juga. Sememangnya dalam usaha besar ini, peristiwa berikut mesti dianggap remeh: duri terkena mata kiri seorang wanita, yangmana beliau menutupnya dengan kain lembap; seorang kanak-kanak menangis dan terjerumus ke dalam balak; seorang lelaki tua tersandung ke dalam semak beri hitam lalu terseliuh pergelangan kakinya; setelah bawang kisar diletakkan di atasnya, lelaki itu dengan berani menahan kesakitan dan, memaut pada tongkatnya, berjalan tempang ke depan dengan gagah di belakang si pemimpin. (Yang pastinya, ada yang mengatakan bahawa lelaki tua itu berbohong tentang pergelangan kakinya, bahawa beliau hanya berpura-pura kerana beliau ingin pulang.) Tidak lama kemudian, hanya ada beberapa sahaja yang tidak mempunyai duri di lengan mereka atau cakaran di muka. Kaum lelaki itu menahan semuanya dengan gagah berani sementara kaum wanita mengutuk dari waktu mereka berangkat dan anak-anak itu menangis, pastinya, kerana mereka tidak memahami semua kerja keras dan kesakitan ini akan diberikan ganjaran yang besar.

Di dalam kebahagiaan dan kegembiraan semua orang, tidak ada apa yang terjadi pada si pemimpin. Terus terang, jika kami ingin mengatakan yang sebenarnya, beliau sangat dilindungi, tetapi tetap sahaja lelaki itu bernasib baik. Di perkemahan malam pertama, semua orang berdoa dan bersyukur kepada Tuhan bahawa perjalanan hari itu berjaya dan tidak ada apa-apa, bahkan tiada sedikit malapetaka pun yang menimpa pemimpin itu. Kemudian salah seorang lelaki yang paling berani mula bercakap. Wajahnya telah tercakar oleh semak beri hitam, tetapi beliau tidak mempedulikannya.

– Saudara, – beliau mula. – Perjalanan satu hari berjaya kita lalui, terima kasih Tuhan. Jalan itu tidak mudah, tetapi kita mesti bertahan kerana kita semua tahu bahawa jalan yang sukar ini akan membawa kita menuju kebahagiaan. Semoga Tuhan yang berkuasa dapat melindungi pemimpin kita dari sebarang marabahaya supayabeliau dapat terus memimpin kita dengan jayanya.

– Esok saya akan kehilangan mata saya lagi satu jika berlaku keadaan seperti hari ini! – salah seorang wanita berkata dengan marah.

– Aduh, kaki saya! – lelaki tua itu teriak, didorong oleh kata-kata wanita itu.

Anak-anak terus merengek dan menangis, dan kaum ibu sukar untuk mendiamkan mereka supaya jurucakap itu dapat didengari.

– Ya, kamu akan kehilangan mata yang lagi satu, – beliau meletus dalam kemarahan, – dan semoga kamu kehilangan kedua-duanya! Ianya bukan satu musibah besar bagi seorang wanita untuk kehilangan matanya kerana tujuan yang sangat baik. Demi maruah! Tidak pernahkah kamufikir tentang kesejahteraan anak-anak kamu? Mari separuh daripada kita binasa dalam usaha ini! Apa bezanya? Ada apadengan satu mata? Apa gunanya mata kamuapabila ada seseorang yang menjaga kita dan membawa kita menuju kebahagiaan? Haruskah kita meninggalkan janji kita hanya kerana mata kamu dan kaki orang tua itu?

– Beliauberbohong! Lelaki tua itu berbohong! Beliau hanya berpura-pura supayabeliau dapat pulang, – suara bergema dari pelbagai sudut.

– Saudara, siapa yang tidak mahu pergi lebih jauh, – kata jurucakap itu lagi, – biarkan beliaupulang dan bukannya mengeluh dan mengacau kita semua. Setahu saya, saya akan mengikut pemimpin yang bijak ini selagi ada yang termampu dalam diri saya!

– Kita semua akan ikut! Kita semua akan mengikut beliau selagi kita hidup!

Pemimpin itu senyap.

Semua orang mula memandang beliau dan berbisik:

– Beliauhanyut dalam pemikirannya!

– Orang yang bijak!

– Lihatlah dahi beliau!

– Dan selalu mengerutkan kening!

– Tegas!

– Beliau berani! Itu dilihat dalam semua perkara mengenai diri beliau.

– Kamu boleh mengatakannya lagi! Pagar, balak, semak – beliaumengharungi semuanya. Beliau dengan muram mengetuk tongkatnya, tidak mengatakan apa-apa, dan kalian mesti meneka apa yang ada dalam fikiran beliau.

(mukasurat seterusnya)

Pemimpin (1/3)

– Saudara-saudara dan rakan-rakan, saya telah mendengar ucapan-ucapan kalian, dan sekarang, saya meminta kalian pula mendengarisaya. Kesemua perbincangan dan perbualan kita tidaklah bermakna apa-apa selagi kita masih kekal di wilayah yang tandus ini. Di dalam tanah berpasir ini dan di atas batuan yang tiada apa boleh tumbuh, walaupun pada tahun-tahun yang hujan, apatah lagi di dalam musim kemarau seperti yang belum pernah kita lihat sebelum ini. Berapa lama lagi kita akan berkumpul begini dan bercakap dengan sia-sia? Lembu sedang tenat tanpa makanan, dan tidak lama lagi kita dan anak cucu kita juga akan kebuluran. Kita perlu mencari jalan penyelesaian lain yang lebih baik dan lebih diterima akal. Saya rasa adalah lebih baik ditinggalkan tanah gersang ini dan merantau untuk mencari tanah yang lebih baik dan subur kerana kita tidak boleh hidup seperti ini lagi.

Dengan itu, seorang penduduk di wilayah yang tidak subur bercakap dengan nada letih dalam satu pertemuan. Di mana dan bila, perkara itu tidak penting untuk kalian atau saya, saya rasa. Adalah penting untuk mempercayai saya bahawa ianya telah berlaku di suatu tempat di suatu tanah dahulu, dan itu sudah mencukupi. Sejujurnya, pada suatu ketika saya fikir saya telah mencipta keseluruhan cerita ini, tetapi sedikit demi sedikit saya membebaskan diri dari khayalan jahat ini. Sekarang saya yakin bahawa saya akan mengaitkan apa yang sebenarnya berlaku dan yang mesti berlaku di suatu tempat dan suatu ketika dan bahawa saya tidak akan pernah dapat untuk merekanya.

Para pendengar, dengan wajah pucat, lesu dan pandangan yang kosong, suram, hampir tidak dapat difahami, dengan tangan di bawah tali pinggang mereka, nampaknya kembali segar dengan kata-kata bijaksana ini. Masing-masing sudah membayangkan bahawa mereka seperti disihir, tanah impian di mana ganjaran bagi kerja berat akan menjadi hasil tuaian yang banyak.

– Beliau betul! Beliau betul! – bisik suara-suara keletihan itudari semua bahagian.

– Adakah tempat ini berde…ka…tan…? – bisikan sayup terdengar dari suatu sudut.

– Saudara-saudara! –mula seorang lagi dengan suara yang agak kuat. – Kita perlu segera mengikuti nasihat ini kerana kita tidak boleh lagi seperti ini. Kita telah melakukan kerja keras dan dalam ketengangan, tetapi semuanya sia-sia. Kita telah menabur benih yang sepatutnyaboleh dijadikan makanan, tetapi banjir datang dan menghanyutkan benih dan tanah dari lereng-lereng bukit sehingga yang hanya tinggal adalah batu kosong. Perlukah kita tinggal di sini selama-lamanya dan membanting tulag dari pagi hingga malam hanya untuk terus lapar dan dahaga, telanjang dan berkaki ayam? Kita harus pergi dan mencari tanah yang lebih baik dan subur di mana kerja keras dapat menghasilkan hasil tanaman yang banyak.

– Mari pergi! Mari pergi segera kerana tempat ini tidak sesuai untuk didiami lagi!

Semakin kuat bisikan, dan masing-masing mula berjalan pergi, mereka pergi tanpa memikirkan hala tuju.

– Tunggu, saudara! Mahu ke mana? – si pembicara pertama berkata semula. –Sudah tentu kita mesti pergi, tetapi bukan seperti ini. Kita harus tahu mana kita hendak pergi. Jika tidak, kita mungkin akan berada dalam keadaan yang lebih buruk daridapat menyelamatkan diri kita sendiri. Saya mencadangkan agar kita memilih seorang pemimpin yang harus kita semua patuhi dan yang akan menunjukkan cara terbaik dan paling tepat kepada kita.

– Mari pilih! Mari kita pilih seseorang sekarang juga, – dapat didengari di sekeliling.

Baru sekarang timbulnya pertengkaran, kekacauan yang nyata. Semua orang bercakap dan tidak ada yang mendengar atau dapat mendengar. Mereka mula berpecah kepada beberapa kumpulan, setiap orang mengomel pada dirinya sendiri, dan kemudian kumpulan-kumpulan itu juga berpecah. Secara berpasangan, mereka mula bercakap dengan satu sama lain beriringan, berbual, cuba membuktikan sesuatu, menarik lengan baju satu sama lain, dan menggerakkan keheningan dengan tangan mereka. Kemudian mereka semua berkumpul lagi, masih bercakap.

– Saudara! – tiba-tiba kedengaran suara yang lebih kuat yang menenggelamkan semua suara lain yang serak, membosankan. –Jika begini kita tidak akan dapat mencapai persetujuan. Semua orang bercakap dan tiada yang mendengar. Mari pilih seorang pemimpin! Siapa di antara kita yang boleh kita pilih? Siapakah di antara kita yang telah cukup mengembara untuk mengetahui jalan-jalan tersebut? Kita semua mengenali antara satu sama lain, namun saya sendiri tidak akan meletakkan diri saya dan anak-anak saya di bawah kepimpinan salah seorang di sini. Sebaliknya, beritahu saya siapa yang tahu tentang pengembara yang sedang duduk di tempat teduh di pinggir jalan itu sejak pagi tadi?

Senyap sunyi. Semua berpaling ke arah orang asing itu dan memerhatikan beliau dari hujung kepala hingga hujung kaki.

Pengembara itu, pertengahan usia, dengan wajah muram yang hampir tidak kelihatan kerana janggut dan rambut panjangnya, duduk dan kekal senyap seperti sebelumnya, lenyap dalam pemikiran, dan mengetuk tongkat besarnya ke tanah dari semasa ke semasa.

– Semalam saya lihat lelaki yang sama itu dengan seorang budak lelaki. Mereka saling berpegangan tangan dan berjalan ke jalan raya. Dan malam semalam budak lelaki itu tinggalkan kampung tersebut tetapi orang asing itu tinggal di sini.

– Saudara, mari lupakan perkara-perkara bodoh ini supaya kita tidak akan kehilangan masa. Siapa pun beliau, beliau datang dari jauh kerana tidak ada di antara kita yang mengenalinya dan beliau pasti tahu cara singkat dan terbaik untuk memimpin kita. Saya menilai bahawa beliau seorang yang bijaksana kerana beliau duduk di sana dengan senyap dan berfikir. Orang lain sudah pasti sepuluh kali atau lebih menyibuktentang urusan kita sekarang atau sudah memulakan perbualan dengan salah seorang daripada kita, tetapi beliau duduk di sana seorang diri sepanjang waktu dan tidak berkata apa-apa.

– Semestinya, lelaki itu duduk diam kerana beliau sedang memikirkan sesuatu. Ia tidak lain melainkan bahawa beliau sangat pintar, – disokong oleh yang lainnya dan mula memeriksa orang asing itu lagi. Masing-masing telah menemui sifat cemerlang dalam diri beliau, bukti kepandaiannya yang luar biasa.

Tidak banyak masa lagi yang dihabiskan untuk bercakap, maka akhirnya semua bersetuju bahawa adalah lebih baik bertanya kepada pengembara ini –yang mana, menurut mereka, Tuhan telah menghantar untuk memimpin mereka keluar ke dunia untuk mencari wilayah yang lebih baik dan tanah yang lebih subur. Beliau seharusnya menjadi pemimpin mereka, dan mereka akan mendengar dan mematuhi beliau tanpa soal.

Mereka memilih sepuluh orang di antara mereka untuk pergi ke orang asing itu untuk menjelaskan keputusan mereka kepadanya. Rombongan ini bertujuan untuk menunjukkan kepadanya keadaan mereka yang menyedihkan dan meminta beliau untuk menjadi pemimpin mereka.

Maka sepuluh orang itu pergi dan tunduk dengan rendah dirinya. Salah seorang dari mereka mula bercakap mengenai tanah yang tidak produktif di kawasan itu, mengenai tahun-tahun yang kemarau dan kesengsaraan di mana mereka semua berada. Beliaumengakhiri dengan cara yang berikut:

– Keadaan ini memaksa kami untuk meninggalkan rumah dan tanah kami dan bergerak ke dunia untuk mencari kampung halamanyang lebih baik. Pada saat ini ketika kami akhirnya mencapai persetujuan, nampaknya Tuhan telah menunjukkan belas kasihan kepada kami, bahawa Dia telah mengutuskan kamu kepada kami – kamu, orang asing yang bijaksana lagi layak – dan bahawa kamu akan memimpin kami dan membebaskan kami dari penderitaan kami. Atas nama semua penduduk di sini, kami meminta kamu untuk menjadi pemimpin kami.

Ke mana sahaja kamu pergi, kami akan ikut. Kamu tahu jalan-jalannya dan kamu pasti dilahirkan di kampung halaman yang lebih membahagiakan dan lebih baik. Kami akan mendengari kamu dan mematuhi setiap perintah kamu. Adakah kamu, orang asing yang bijaksana, bersetuju untuk menyelamatkan begitu banyak nyawa dari kehancuran? Mahukahkamu menjadi pemimpin kami?

Sepanjang ucapan sedih ini, si orang asing yang bijaksana itu tidak langsung mengangkatkan kepalanya. Sepanjang masa itu beliaukekal berada di posisi yang sama di mana mereka menjumpainya. Kepalanya tunduk, beliau mengerutkan kening, dan beliau tidak berkata apa-apa. Beliau hanya mengetuk tongkatnya ke tanah dari semasa ke semasa dan – berfikir. Ketika ucapan itu selesai, beliauberkata dengan singkat dan perlahan tanpa mengubah kedudukannya:

– Saya akan!

– Bolehkah kami pergi bersamamu dan mencari tempat yang lebih baik?

– Kalian boleh! – sambungnya tanpa mengangkat kepalanya.

Keghairahan dan ungkapan penghargaan muncul kini, tetapi orang asing itu tidak bercakap sepatah kata pun terhadap semua itu.

Sepuluh orang itu memberitahu kumpulantersebut mengenai kejayaan mereka, sambil menambah bahawa baru sekarang mereka melihat kebijaksanaan mendalam yang dimiliki oleh lelaki ini.

– Beliau bahkan tidak bergerak dari tempat itu atau mengangkat kepalanya sekurang-kurangnya untuk melihat siapa yang bercakap dengannya. Beliau hanya duduk diam dan bertafakur sahaja. Untuk semua ucapan dan penghargaan kami, beliau hanya mengucapkan empat perkataan sahaja.

– Orang yang benar bijak! Kepintaran yang jarang dijumpai! – mereka menjerit dengan gembira dari semua sudut dengan mendakwa bahawa Tuhan sendiri telah menghantar beliau sebagai malaikat dari syurga untuk menyelamatkan mereka. Semuanya yakin akan kejayaan di bawah seorang pemimpin seperti itu yang tidak dapat dibantah oleh apa pun di dunia ini. Oleh itu, ianya telah diputuskan untuk berangkat pada keesokan harinya pada waktu fajar.

(mukasurat seterusnya)

Tanda

Aku bermimpi sesuatu yang buruk. Akutidak begitu memikirkan mimpi tersebut, tetapi aku tertanya-tanya bagaimana akumendapat keberanian untuk bermimpi tentang perkara-perkara mengerikan, sedangkanaku sendiri adalah seorang rakyat yang pendiam dan dihormati, seorang anak yang taat pada ibu negara kita yang tercinta, Serbia yang menderita, seperti semua anak-anaknya yang lain. Sudah tentu, engkau tahu, jika aku terkecuali dalam apa-apa pun, itu pastinya berbeza, tetapi tidak, sahabatku, aku melakukan perkara yang sama seperti orang lain, dan untuk berhati-hati dalam segala perkara, tidak ada yang dapat menandingiku di sana. Sebaik sahaja aku melihat butang berkilat dari pakaianseragam anggota polis yang terbaring di atas jalan, dan aku menatap cahaya magisnya, hampir pada titikuntuk berlalu pergi, penuh dengan kenangan manis, ketika tiba-tiba, tangan aku mula ketar dan mengangkat tabik; kepalaku tertunduk ke bumi, dan mulutkumelebarkan senyuman indah sepertiyang kita semua pakaikan ketika menyapa orang atasan kita.

– Darah mulia mengalir di dalam uratku–itulah ia! – Inilah yang aku fikirkan ketika itu dan aku melihat dengan jijik pada orang yang kasar yang memijak butang itu dengan cuainya.

– Kejam! – Aku berkata dengan pahitnya, dan meludah, dan kemudian diam berjalan, terhibur dengan pemikiran bahawa orang kurang ajar seperti itu hanya sedikit; dan aku sangat gembira kerana Tuhan telah memberi aku hati yang lembut dan darah nenek moyang kita yang mulia dan satria.

Lihat, kini engkau dapat melihat sekarang betapa hebatnya aku, tidak sama sekali berbeza dengan rakyat kehormat yang lain, dan engkau pasti akan tertanya-tanya bagaimana perkara-perkara mengerikan dan bodoh itu dapat terjadi dalam mimpi-mimpiku.

Tiada perkara luar biasa berlaku padaku pada hari itu. Aku makan malam dengan baik dan selepas itu duduk mencungkil gigi dengan lapang dada; aku menghirup arak, dan kemudian, setelah menggunakan hak akusebagai rakyatdengan berani dan berhati-hati, aku masuktidur dan mengambil buku bersamaku agar dapat tidur dengan lebih cepat.

Buku itu segera terlepas dari tanganku,sudah pasti, setelah memenuhi keinginanku dan, segala tugas yang telah aku lakukan, aku tertidur lena seperti bayi.

Sekaligus aku mendapati diriku berada di jalan yang sempit dan berlumpur yang merentasi pergunungan. Malam yang sejuk dan hitam. Angin menderu di antara dahan-dahan yang tandus dan memotong seperti pencukur setiap kali ia menyentuh kulit. Langit itu hitam, bisu, dan mengancam, dan salji, seperti debu, meniup ke dalam mataku dan memukul wajahku. Tidak ada seorang pun di mana-mana. Aku tergesa-gesa dan sekali-sekala tergelincir di atas jalan berlumpur ke kiri, ke kanan. Aku goyah lalu jatuh dan akhirnya tersesat, akuteruskanmengembara –hanya Tuhan tahu di mana – dan ini bukan malam yang singkat dan biasa, tetapi sepanjang satu abad, dan aku berjalan sepanjang masa tanpa mengetahui di mana.

Oleh itu, aku berjalan selama bertahun-tahun dan sampai ke suatu tempat, jauh, jauh dari negara asalku ke bahagian dunia yang tidak dikenali, ke tanah aneh yang mungkin tiadasiapa yang tahu dan yang, aku pasti, hanya dapat dilihat dalam mimpi.

Berjalan di tanah ituakusampai ke sebuah bandar besar di mana banyak orang tinggal. Di pasar yang besar ini terdapat sekerumunan besar, bunyi yang mengerikan sedang berlaku, cukup untuk memecahkan gegendang telinga seseorang. Aku duduk di sebuah rumah inapyang menghadap pasar tersebut dan bertanya kepada tuan tanah mengapa begitu ramai orang berkumpul…

– Kami adalah orang yang pendiam dan dihormati, – dia memulakan ceritanya, – kami setia dan taat kepada hakim.

– Adakah hakimketua tertinggi engkau? – Aku bertanya, menyapa dia.

– Hakim itu memerintah di sini dan dia adalah ketua tertinggi kami; polis merangkap seterusnya.

Aku ketawa.

– Mengapa engkau ketawa? … Tidakkah engkau tahu? … Dari manakah engkau datang?

Aku memberitahunya bagaimana aku tersesat, dan bahawa akudatang dari negeri yang jauh – Serbia.

– Aku pernah mendengar tentang negara yang terkenal itu! – bisik tuan tanah kepada dirinya sendiri, memandangku dengan hormat, dan kemudian dia bercakap dengan kuat:

– Itulah cara kami, – dia teruskan, – hakim itumemerintah di sini bersama polis-polisnya.

– Bagaimana rupa polis-polis engkau?

– Sebenarnya, ada pelbagai jenis polis – mereka berbeza, mengikut pangkat mereka. Ada yang lebih dihormati dan ada juga kurang dihormati … Kami, yang engkautahu, orang yang pendiam dan dihormati, tetapi semua jenis gelandangan datang dari kawasan bersebelahan, mereka merosakkan kami dan mengajar kami perkara-perkara jahat. Untuk membezakan setiap rakyatkami dengan orang lain, hakim telah memerintahkan semalam bahawa semua rakyat kami harus pergi ke Mahkamah tempatan, di mana setiap dari kami akan ditandakan di bahagian dahi. Inilah sebabnya mengapa begitu ramai orang berkumpul: untuk mendapatkan khidmat nasihat tentang apa yang harus dilakukan.

Aku menggigil dan berfikir bahawa aku harus lari dari tanah aneh ini secepat yang akumampu, kerana aku, walaupun seorang Serbia, tidak biasa dengan semangat kesatriaan yang dipamerkan, dan aku sedikit pun tidak senang hati dengannya!

Tuan tanah ketawa dengan ramah, menepuk bahuku, dan berkata dengan bangga:

– Ah, orang asing, apakah ini cukup untuk menakutkan engkau? Tidak hairanlah, engkau harus pergi jauh untuk mencari keberanian seperti kami!

– Dan apa yang engkau bermaksud untuk lakukan? – Aku bertanya dengan takut.

– Soalan yang baik! Engkau akan melihat betapa beraninya kami. Engkauharus melalui jalan yang panjang untuk mencari keberanian seperti kami, itu yang dapatku katakan. Engkau telah mengembara jauh dan melihat dunia, tetapi aku pasti engkau tidak pernah melihat perwira-perwira yang lebih hebat daripada kami. Mari kita ke sana bersama. Akuharus segera.

Kami hampir hendak pergi ketika kami terdengar, di hadapan pintu, libasan penyebat.

Akumengintai: ada pemandangan yang harus dilihat – seorang lelaki dengan topi seragam bersinar di atas kepalanya, mengenakan sepasang pakaiankemas, sedang membonceng di belakang lelaki lain yangberpakaiandengan pakaian yang sangat kaya dengan potongan biasa dan awam. Dia berhenti di hadapan rumah inapini dan penunggang itu turun.

Tuan tanah pun keluar, tunduk ke tanah, dan lelaki yang mengenakan pakaiankemas itu masuk ke rumah inapinilalu ke sebuah meja yang dihiaskhas. Orang yang berpakaian awam itukekal di hadapan rumah inapini dan menunggu. Tuan tanah tunduk rendah padanya juga.

– Apa semua ini? – Aku bertanya kepada tuan tanah, sangat bingung.

– Sebenarnya, orang yang masuk ke dalam rumah inap ini adalah polis berpangkat tinggi, dan lelaki ini adalah salah satu rakyat kami yang paling terkenal, sangat kaya, dan patriot yang hebat, – bisik tuan tanah.

– Tetapi mengapa dia membiarkan orang lain itu naik di belakangnya?

Tuan tanah menggeleng kepalanya ke arahku dan kami bergerak ke tepi. Dia memberi aku senyuman dalam cemuhan dan berkata:

– Kami menganggapnya sebagai suatu kehormatan yang sangat jarang dilakukan! – Dia memberitahuku banyak perkara selain itu, tetapi aku sangat gembira sehingga aku tidak dapat menunjukkannya. Tetapi aku mendengar dengan jelas apa yang dia katakan pada akhirnya: – Ini adalah layanan untuk suatu negara yang mana semua negara lain masih belum belajar untuk hargai!

Kami datang ke perjumpaan dan pemilihan ketua telah sedang berlangsung.

Kumpulan pertama menamakan seorang lelaki yang dipanggil Kolb, jika aku ingat namanya dengan betul, sebagai calon mereka untuk ketua; kumpulan kedua mahukan Talb, dan kumpulan ketiga mempunyai calon mereka sendiri.

Terdapat kekeliruan yang menakutkan; setiap kumpulan mahu menaikkan orang mereka masing-masing.

– Aku berpendapat bahawa kita tidak mempunyai lelaki yang lebih baik daripada Kolb untuk mengetuaisuatu perjumpaan yang sebegitu penting, – kata suara dari kumpulan pertama, – kerana kita semua tahu dengan baik kebaikannya sebagai rakyat dan keberaniannya yang mendalam. Aku rasa tidak ada orang di antara kita di sini yang boleh dibanggakan yang sering ditunggang oleh orang-orang yang sangat penting…

– Siapa engkau untuk membincangkannya, – jerit seseorang dari kumpulan kedua. – Engkau tidak pernah ditunggang oleh kerani polis bawahan!

– Kami tahu apa kebaikan engkau, – jerit seseorang dari kumpulan ketiga. – Engkau tidak akan pernah merasai satu serangan pelibas tanpa melolong!

– Mari kita betulkan keadaan ini, saudara! – mula Kolb. – Memang benar bahawa orang-orang ternama menunggang aku seawal sepuluh tahun yang lalu; mereka melibasaku dan aku tidak pernah menangis, tetapi mungkin ada yang lebih layak di antara kita. Mungkin ada yang lebih muda yang lebih baik.

– Tidak, tidak, – teriak penyokongnya.

– Kami tidak mahu mendengar mengenai penghormatan ketinggalan zaman! Sudah sepuluh tahun sejak Kolb ditunggangi, – jerit suara dari kumpulan kedua.

– Darah muda mula mengambil alih, biarkan anjing tua mengunyah tulang lama, – kata beberapa dari kumpulan ketiga.

Tiba-tiba tidak ada lagi bunyi; orang ramai bergerak ke belakang, kiri dan kanan, untuk membuka jalan dan aku melihat seorang pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun. Ketika dia menghampiri, semua kepala tertunduk rendah.

– Siapa ini? – Aku berbisik kepada tuan tanahku.

– Dia adalah pemimpin yang masyhur. Seorang lelaki muda, tetapi sangat menjanjikan. Pada masa-masa awalnya, dia dapat dibanggakan dengan telah membawa hakim tersebut di belakangnya tiga kali. Dia lebih terkenal daripada orang lain.

– Mungkinkah mereka akan memilihnya? – Aku bertanya.

– Itu sudah pasti, kerana untuk semua calon lain – mereka semua lebih tua, masa telah melewati mereka, sedangkan hakim itu baru menunggang di belakangnya semalam.

– Siapa namanya?

– Kleard.

Mereka memberinya tempat terhormat.

– Akufikir, – suara Kolb memecah kesunyian, – bahawa kita tidak dapat mencari lelaki yang lebih baik untuk kedudukan ini melainkan Kleard. Dia masih muda, tetapi tidak ada di antara kita yang lebih tua yang setaraf dengannya.

– Dengarkanlah, dengarkanlah! … Hidup Kleard! … – semua suara berkumandang.

Kolb dan Talb membawanya ke tempat ketua. Semua orang menunduksedalamnya, dan terdiam membisu.

– Terima kasih, saudara-saudara, atas penghormatan kalian yang tinggi dan penghormatan ini yang telah sebulat suara kalian berikan kepadaku. Harapan kalian, yang ada padaku sekarang, terlalu menyanjung. Bukan mudah untuk mengarahkan harapan negara melalui hari-hari yang amat penting, tetapi aku akan melakukan segala yang termampu untuk mengiyakan kepercayaan kalian, untuk mewakili pendapat kalian dengan jujur, dan untuk berhak mendapatkan penghormatan kalian kepadaku. Terima kasih, saudara-saudaraku, kerana memilihku.

– Hore! Hore! Hore! – pengundi bersorak dari semua sudut.

– Dan sekarang, saudara-saudara, aku harap kalian mengizinkanku untuk mengatakan beberapa patah kata mengenai peristiwa penting ini. Tidak mudah untuk menderita kepedihan ini, penderitaan seperti yang ada untuk kita; tidak mudah untuk meletakkan tanda pada dahi seseorang dengan besi panas. Memang, tidak – ianya adalah kesakitan yang tidak dapat ditanggung oleh semua lelaki. Biarkan pengecut menggigil, biarkan mereka mundur dengan ketakutan, tetapi kita tidak boleh lupa sesaat pun bahawa kita adalah anak lelaki nenek moyang yang berani, bahawa darah mulia mengalir dalam urat kita, darah kepahlawanan datuk kita, satria hebat yang mati tanpa mengedipkan kelopak mata untuk kebebasan dan untuk kebaikan kita semua, keturunan mereka. Penderitaan kita sedikit, jika kalian memikirkan penderitaan mereka – adakah kita akan berperangai seperti anggota keturunan yang lemah dan pengecut yang mana kini kita hidup lebih baik dari sebelumnya? Setiap patriot sejati, setiap orang yang tidak mahu memalukan bangsa kita di hadapan seluruh dunia, akan menanggung keperitan seperti seorang lelaki dan pahlawan.

– Dengarkanlah! Dengarkanlah! Hidup Kleard!

Terdapat beberapa pembicara yang bersungguh selepas Kleard; mereka member semangat apda orang-orang yang ketakutan dan mengulangi lebih kurang apa yang dikatakan oleh Kleard.

Kemudian seorang lelaki tua yang pucat, dengan wajah berkedut, rambut dan janggutnya seputih salji, meminta untuk berbicara. Lututnya bergetar seiring bertambahnya usia, tangannya menggeletar, belakangnya bengkok. Suaranya bergetar, matanya cerah dengan air mata.

– Anak-anak, – dia membuka bicara, dengan air mata mengalir di pipi putihnya yang berkedut lalu jatuh di janggutnya yang putih, – Aku sengsara dan aku akan mati tidak lama lagi, tetapi nampaknya kalian lebih baik tidak membiarkan rasa malu itu datang kepada kalian. Aku berumur seratus tahun, dan aku telah menjalani sepanjang hidupku tanpanya!… Mengapa penandaan hamba mesti diletakkan di kepalaku yang putih dan letihkini?…

– Halau sahaja orang tua tak guna itu! – jerit si ketua.

– Halau dia! – yang lain menjerit.

– Orang tua pengecut!

– Sepatutnya memberi semangat kepada orang muda, dia menakutkan semua orang pula!

– Dia harus malu dengan ubannya! Dia sudah cukup lama hidup, dan dia masih boleh takut – kita yang masih muda adalah lebih berani…

– Halau sahaja si pengecut!

– Buang dia!

– Halau dia!

Kumpulan orang-orang patriotik yang marah dan berani menyerang lelaki tua itu dan mula menolak, menarik, dan menendangnya dengan marah.

Mereka akhirnya membiarkannya pergi kerana usianya – jika tidak, mereka pasti akan merejamnya hidup-hidup.

Mereka semua berjanji akan berani esok dan menunjukkan diri mereka layak ke atas penghormatan dan kemuliaan negara mereka.

Orang ramai bersurai dari perjumpaan dengan teratur. Semasa bersurai mereka berkata:

– Esok kita akan melihat siapa masing-masing sebenarnya!

– Esok, kita akan menyusunatur mereka yang berlagak!

– Masanya telah tiba untuk yang layak membezakan diri mereka dari yang tidak layak, sehingga setiap yang tidak guna itu tidak akan dapat membanggakan diri dengan hati yang berani!

Aku kembali ke rumah inap.

– Sudahkah engkau melihat bagaimananya kami? – tuan tanahku bertanya dengan bangga.

– Semestinya sudah, – Aku menjawab secara automatik, merasakan bahawa kekuatanku telah meninggalkanku dan kepalaku berdengung dengan kesan yang aneh.

Pada hari itu juga aku membaca di akhbar mereka sebuah artikel terkemuka yang berbunyi seperti berikut:

– Wahai rakyat, sudah tiba masanya untuk menghentikan lagak dan sombong di antara kita; sudah tiba masanya untuk berhenti menghargai kata-kata kosong yang kita gunakan dengan banyak untuk memperlihatkan kebaikan dan padang pasir khayalan kita. Sudah tiba masanya, rakyat, untuk menguji kata-kata kita dan menunjukkan siapa yang benar-benar layak dan siapa yang tidak! Tetapi kami percaya bahawa tidak ada pengecut yang memalukan di antara kita yang harus dibawa secara paksa ke tempat penandaan yang ditetapkan. Setiap dari kita yang merasakan di dalam uratnya setitik darah mulia nenek moyang kita akan berjuang untuk menjadi antara yang pertama menanggung kesakitan dan penderitaan, dengan bangga dan tenang, kerana ini adalah sakit yang suci, itu adalah pengorbanan demi kebaikan negara kita dan untuk kesejahteraan kita semua. Maju ke hadapan, rakyat, kerana esok adalah hari ujian yang mulia!…

Tuan tanahku tidur sejurus selepas perjumpaan pada hari itu untuk sampai seawal mungkin ke tempat yang ditentukan pada keesokan harinya. Namun, ramai yang telah pergi terus ke Dewan Bandaraya untuk berada sedekat mungkin dengan kepala barisan.

Keesokan harinya aku juga pergi ke Dewan Bandaraya itu. Semua orang berada di sana – muda dan tua, lelaki dan wanita. Sebilangan ibu membawa bayi kecil mereka di dalam pelukan mereka sehingga mereka dapat dicap dengan tanda hamba, iaitu sebagai penghormatan, dan dengan itu memperoleh hak yang lebih baik untuk jawatan tinggi dalam perkhidmatan awam.

Terdapat desakan dan sumpah-menyumpah (keadaan ini mereka agak seperti kami orang Serbia, dan akuentah bagaimanagembira kerananya), dan semua orang berusaha untuk menjadi yang pertama di pintu. Ada juga yang sanggup mencekik yang lain.

Tanda dikenakan oleh pegawai khas negeri berbaju putih dan formal yang sedikit kecewa dengan orang ramai tersebut:

– Jangan bersenandung, demi Tuhan, giliran semua orang akan tiba – kalian bukan haiwan, aku rasa kita boleh mengurus tanpa bertolakkan.

Penandaan bermula. Seorang menjerit, yang lain hanya mengerang, tetapi tidak ada yang dapat menahannya tanpa suara sepanjang aku berada di sana.

Aku tidak tahan lagi menyaksikan penyeksaan ini dengan lebih lama, jadi aku kembali ke rumah inap, tetapi ada di antara mereka yang sudah berada di sana, sedang makan dan minum.

– Sudah tamat! – kata salah seorang daripada mereka.

– Sebenarnya, kita tidaklah betul-betul menjerit, tetapi Talb meringkik seperti keldai!… – kata yang lain.

– Kalianlihatkeadaan Talb kalian tu, dan kalian ingin menjadikannya sebagai ketua perjumpaan semalam.

– Ah, engkau tidak akan pernah tahu!

Mereka bercakap, mengerang dalam kesakitan dan menggeliat, tetapi berusaha untuk menyembunyikannya dari satu sama lain, kerana masing-masing malu untuk dianggap pengecut.

Kleard memalukan dirinya sendiri, kerana dia mengerang, dan seorang lelaki bernama Lear adalah seorang pahlawan kerana dia meminta agar dua tandaditekapkan di dahinya dan tidak akan mengeluarkan suara kesakitan. Semua bandar bercakap dengan hormat hanya tentang dia.

Beberapa orang melarikan diri, tetapi mereka dibenci oleh semua orang.

Selepas beberapa hari, si dia dengan dua jenama di dahinya berjalan dengan kepala dongak tinggi, dengan martabat dan harga diri, penuh dengan kemuliaan dan kebanggaan, dan ke mana sahaja dia pergi, semua orang menunduk dan menangkat topinya untuk memberi salam kepada pahlawan hari ini itu.

Lelaki, wanita, dan anak-anak kecil berlari mengejarnya di jalan raya untuk melihat lelaki terhebat di negara ini. Ke mana sahaja dia pergi, bisikan yang terinspirasi dengan kagum mengikutinya: ‘Lear, Lear!… Itu dia!… Itulah pahlawan yang tidak melolong, yang tidak mengeluarkan suara sedangkan dua tandaditekap di dahinya!’ Dia menjadi tajuk utama di surat khabar, dipuji dan dimuliakan.

Dan dia berhak disayangi oleh orang ramai.

Di seluruh tempat aku mendengarkan pujian seperti itu, dan aku mula merasakan darah Serbia usang dan mulia mengalir dalam urat aku, Nenek moyang kita adalah pahlawan, mereka mati dipijak demimendapatkan kebebasan; kita juga mempunyai masa lampau yang gagah dan Kosovo kita. Aku ghairah dengan rasa bangga dan kesombongan negara, ingin menunjukkan betapa beraninya keturunanku dan bergegas ke Dewan Bandaraya dan menjerit:

– Mengapa kalian memuji Lear kalian? … Kalian tidak pernah melihat pahlawan sejati! Datang dan lihat sendiri bagaimana darah Serbia yang mulia! Tekapkan sepuluh tanda di kepalaku, bukan sekadar dua!

Penjawat awam berbaju putih itu membawa capnya dekat dengan dahiku, dan akupun mula… Aku terbangun dari mimpiku.

Aku mengusap dahiku dalam ketakutan dan menyilangkan diri, berfikirtentang perkara-perkara aneh yang muncul dalam mimpi itu.

– Aku hampir membayangi kegemilangan Lear mereka, – Aku berfikir dan, puas, berpaling, dan aku entah bagaimana menyesal kerana impianku belum berakhir.

 

Di Belgrade, 1899
Untuk Projek “Radoje Domanović” yang diterjemahkan oleh Wan Nurul Nabila Wan Mansor, 2020